Hal ini setelah Arkaan Wahyu Re A, adik Almas Tsaqibbiru, mengubah petikan petitumnya dari diterapkan saat penetapan pasangan calon menjadi syarat usia calon gubernur minimal 30 tahun terhitung saat pelantikan, serupa dengan apa yang telah diputus MA pada putusan MA Nomor 23P/HUM/2024.
Arkaan mengatakan, adanya perubahan petitum untuk mengantisipasi apabila Mahkamah menolak seluruh permohonan uji materi usia calon kepala daerah dengan alasan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
“Jika MK menolak, maka putusan MA yang memaknai umur 30 tahun gubernur saat pelantikan maka harus dinyatakan cacat dan tidak berlaku dikarenakan badan peradilan, yaitu MA dan MK tidak berhak berwenang untuk memaknai ketentuan umur 30 tahun calon gubernur,” katanya dalam sidang perbaikan permohonan Perkara Nomor 89/PUU-XXII/2024, Senin, 12/8/2024.
Untuk diketahui, saat ini MK tengah menguji 15 permohonan terkait Undang-Undang (UU) Pilkada. Dari seluruh perkara tersebut, 6 di antaranya menguji Pasal 7 Ayat 2 huruf e UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan kepala daerah.
Terdapat empat opsi petitum yang diajukan oleh Pemohon, mulai dari ditetapkan oleh KPU sejak penetapan pasangan calon atau sejak pendaftaran pasangan calon. Selain itu, dua opsi lainnya ialah usia calon kepala daerah ditetapkan sejak pencoblosan suara dan juga saat hari pelantikan kepala daerah.
Selain itu, kata Arkaan, apabila MK menolak semua opsi uji materi yang telah diajukan oleh beberapa Pemohon, ia meminta agar Mahkamah memberikan pertimbangan yang menyatakan putusan MA yang telah memaknai persyaratan umur 30 tahun calon gubernur pada saat pelantikan adalah cacat dan batal demi hukum.
Arkaan menyebut bahwa perbaikan petitum ini dilakukan untuk mencegah anak bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep agar tidak bisa maju sebagai calon gubernur pada Pilkada 2024.
“Sehingga siapa pun termasuk Kaesang tidak dapat mencalonkan diri sebagai gubernur apabila belum berusia 30 tahun maksimal pada saat penetapan pasangan calon,” katanya.
Sebelumnya, dalam Sidang Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh A Fahrur Rozi dan Anthony Lee, sejumlah Hakim Konstitusi menegaskan bahwa MK bukan lembaga banding atas putusan MA.
“Seakan-akan saudara menempatkan MK sebagai peradilan banding atas putusan MA, ini harus dijawab karena sudah ada putusan MA, Anda menyampaikannya ke MK. Ini perlu ada argumentasi karena ujug-ujug langsung menyampaikan ke MK, tolong dielaborasi,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, Jumat, 12/7.
Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Hakim Saldi Isra, ia meminta agar Pemohon memikirkan substansi yang dimohonkan tanpa memaksa MK menilai putusan MA.
Saldi menyarankan agar dalil permohonan Pemohon menjelaskan alasan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dihitung ketika pencalonan, bukan ketika pelantikan tanpa perlu mengulik putusan MA.
“Mengapa penghitungan syarat dihitung ketika pencalonan bukan ketika pelantikan. Itu yang perlu dipikirkan tanpa perlu menyebut putusan MA,” kata Saldi.*