Hakim MK Pertanyakan Formula Penghitungan Ambang Batas Presiden

FORUM KEADILAN – Kedua tokoh pegiat demokrasi, Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini menggugat Undang-Undang (UU) Pemilu soal ambang batas presiden.
Dalam petitumnya, mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar partai non parlemen dapat mengusung calon presiden dengan ambang batas yang ditentukan pembentuk Undang-Undang.
Dalam sesi pemberian nasihat perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan formulasi penghitungan ambang batas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold kepada para Pemohon.
Arsul menilai para Pemohon seharusnya memberikan gambaran formula penghitungan ambang batas presiden, sebagaimana permohonan perkara Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang telah diputus oleh Mahkamah.
“Kalau mau diserahkan, mesti dikasih formula seperti yang model (permohonan) ambang batas parlemen, karena kalau hanya diserahkan gelondongan, kita memberikan cek kosong juga ke pembentuk Undang-Undang,” kata dia saat persidangan, Rabu, 7/8/2024.
Arsul juga mempertanyakan terkait alasan parpol non parlemen harus memenuhi syarat 20 persen untuk mengusulkan calon presiden. Menurutnya, apabila adanya perbedaan tersebut akan menimbulkan tanda tanya.
Menjawab hal tersebut, Titi mengungkapkan bahwa skema perhitungan ambang batas presiden telah dicantumkan dalam permohonan mereka. Ia menjelaskan, besaran persentase sebesar 20 persen bukan dihitung berdasarkan hasil suara pemilu ataupun kursi di parlemen, melainkan berdasarkan total jumlah partai politik peserta pemilu.
Titi memberikan ilustrasi, pada Pemilu 2024 setidaknya terdapat 18 partai politik peserta pemilu. Dengan perhitungan 20 persen dikali dengan jumlah peserta parpol, maka diperlukan 3 partai politik non parlemen untuk mengusung calon presiden pada Pilpres 2029 mendatang.
“Kalau untuk ambang batas pencalonan presiden karena ingin memberikan calon yang inklusif maka tawarannya pembulatan ke bawah. Jadi hasil 3,6 dibulatkan menjadi 3 partai. Tapi itu hanya untuk parpol yang non parlemen,” kata Titi.
Sebagai informasi, Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraini menguji konstitusionalitas norma Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal presidential threshold.
Mereka beralasan adanya alternatif pengaturan ambang batas pencalonan presiden dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, seperti mengakomodir hak parpol yang baru mengikuti pemilu untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres.
Apabila permohonan ini dikabulkan MK, maka beberapa gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di parlemen dapat mengusungkan capres dan cawapresnya sepanjang memenuhi angka 20 persen dari seluruh partai politik peserta pemilu.
Di samping itu, para Pemohon juga memberikan petitum alternatif di mana pasangan calon dapat diusung partai politik dan/atau Gabungan Partai Politik dan diusulkan oleh Gabungan Partai Politik yang tidak memiliki kursi di parlemen dengan ambang batas yang diatur oleh pembentuk Undang-Undang pada Pemilu 2029 mendatang.*
Laporan Syahrul Baihaqi