Masyarakat Sipil Kecam KPU Hapus Sanksi Diskualifikasi Cakada Tak Lapor Dana Kampanye

FORUM KEADILAN – Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghapus sanksi diskualifikasi bagi calon kepala daerah (cakada) yang tidak melaporkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) serta Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) mendapat kritik keras dari organisasi pegiat demokrasi dan anti korupsi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati memperkirakan bahwa pelaporan dana kampanye akan berjalan secara tidak serius dan tanpa mengedepankan aspek kejujuran, transparansi dan akuntabilitas.
“Pelaporan dana kampanye sangat penting bagi pemilih untuk memberikan informasi mengenai aktor yang menyumbang, untuk apa sumbangan tersebut digunakan, serta untuk menjaga integritas pemilu,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Forum Keadilan, Selasa, 6/8/2024.
Perempuan yang akrab disapa Ninis mempertanyakan alasan di balik penghapusan sanksi tersebut, padahal dalam Pasal 54 PKPU Nomor 5 Tahun 2017 telah ditegaskan ketentuan pembatalan paslon bagi yang tidak menyampaikan LPPDK sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Ninis menyebut bahwa KPU telah memberikan toleransi secara berlebihan kepada pasangan calon kepala daerah yang minim integritas. Apalagi, sanksi yang ada dalam Rancangan PKPU hanya sebatas sanksi administratif.
“Rencana penghapusan ketentuan diskualifikasi ini juga menunjukan bahwa KPU telah mengabaikan kepentingan pemilih untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai dana kampanye dan lebih berpihak pada kepentingan peserta pemilu,” kata Ninis.
Dalam Uji Publik Rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye Pilkada pada 2 Agustus 2024, KPU akan menghapus ketentuan mengenai sanksi diskualifikasi terhadap paslon yang tidak melaporkan dana kampanye.
Pada Pasal 65 draf Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye, akan diatur bahwa pasangan calon yang tidak menyampaikan LADK dan LPPDK bakal diumumkan kepada publik sebagai bentuk penilaian untuk masyarakat dalam memilih paslon tersebut.
Terdapat juga beberapa ketentuan pada Pasal tersebut, salah satunya ialah memberikan peringatan kepada paslon yang lalai dalam melaporkan dana kampanye berupa teguran tertulis dan diberikan kesempatan untuk memperbaiki serta memberikan laporan dana kampanye.
Selain itu, apabila paslon tetap tidak menyampaikan dana kampanye, maka paslon tidak boleh mengikuti kegiatan kampanye selama 60 hari. Jika paslon masih tetap tidak melaporkan, maka paslon tersebut tidak akan ditetapkan sebagai calon terpilih, apabila menang pilkada, sampai dirinya melaporkan dana kampanye.
Kritik senada juga disampaikan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramdhana terhadap rencana KPU dalam menghapus sanksi diskualifikasi bagi paslon yang tidak melaporkan dana kampanye.
Menurut Kurnia, adanya informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran dana kampanye oleh peserta pilkada dapat memberikan gambaran terkait asal usul dan peruntukan pendanaan politik pada pemilihan kepala daerah.
“Pelaporan dana kampanye ini misalnya, dapat meminimalisir masuknya hasil tindak pidana termasuk korupsi dalam pusaran pendanaan,” kata Kurnia.
Selain itu, kata Kurnia, upaya pencegahan terhadap konflik kepentingan yang dapat berujung pada korupsi politik dapat dideteksi sejak awal melalui sumber utama pendanaan paslon dalam laporan dana kampanye.
Dalam pemantauan yang dilakukan ICW terhadap pemantauan dana kampanye pada Pilkada 2020, terdapat 30 daerah yang menunjukkan tiga pasangan calon dengan LADK kosong dan dua paslon tidak melampirkan dokumen LADK. Selain itu, ICW juga menemukan lima paslon tidak melaporkan LPSDK ke KPU.
Kurnia juga memaparkan temuan dalam riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pendanaan Pilkada 2015. Dalam riset tersebut, diketahui sebanyak 20 persen responden dari 286 pasangan calon yang gagal terpilih mengaku tidak membuat LPPDK. Terdapat juga LPPDK yang diserahkan dan melanggar batas besaran sumbangan.
Kurnia menegaskan bahwa fakta-fakta tersebut menunjukan pelaporan dana kampanye dalam penyelenggaraan pilkada periode sebelumnya tidak mendapat perhatian serius dari KPU. Oleh karena itu, ia menegaskan pemberian sanksi harus dipertegas.
“Justifikasi bahwa sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK tidak diatur dalam Undang-Undang Pilkada adalah suatu kesesatan berpikir,” tegasnya.
Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan dalam penyusunan PKPU, lembaganya harus mempedomani prinsip berkepastian hukum dan tertib sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Selama UU Pilkada tidak mengatur diskualifikasi kepesertaan pilkada dalam konteks penyerahan LADK (Laporan Awal Dana Kampanye), maka KPU tidak bisa mengatur hal tersebut,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa, 6/8.
Meski begitu, Idham mengatakan, KPU masih harus berkonsultasi dengan Pembentuk Undang-Undang. Dalam proses konsultasi tersebut, KPU baru akan menyampaikan rencana Peraturan KPU kepada pemerintah dan DPR.*
Laporan Syahrul Baihaqi