Pemohon Namai Permohonannya ‘Kaesang Dilarang Jadi Gubernur’, Hakim MK: Enggak Etis

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan soal persyaratan batas usia pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Tahun 2024. Dalam sidang tersebut, Hakim MK menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak pantas karena menyebut “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur” dalam permohonannya.
Perkara Nomor 99/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Aufaa Luqmana Rea, yang merupakan adik dari Almas Tsaqibbiru yang mengajukan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Pada awal persidangan, Aufaa menyebut bahwa judul permohonannya dinamakan ‘Kaesang Dilarang Jadi Gubernur’. Namun, pada saat sesi pemberian nasihat oleh Hakim Konstitusi, ia justru diceramahi karena permohonannya dinilai tidak pantas.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai bahwa permohonan pengujian Undang-Undang (UU) ke MK harus memenuhi unsur kepatutan, kewajaran, dan kesopanan.
“Ada heading ‘Kaesang Dilarang Jadi Gubernur’ ini tidak memenuhi kaidah-kaidah kepatutan, kaidah kepantasan dan itu tidak ada dan itu tidak lazim. (Kalimat itu) supaya dihapus, ini provokatif enggak boleh begini permohonan ini,” kata Arief Hidayat dalam persidangan, Senin, 5/8/2024.
Selain itu, Arief menggarisbawahi agar Pemohon berhukum berlandaskan dengan ideologi bangsa dan konstitusi, yaitu dengan cara tidak melanggar hukum dan etika.
“Jadi selain bertujuan berdasarkan rule of law juga ada rule of etik. Ini permohonan yang enggak etis kalau saya mengatakan tidak boleh dikasih begini, apalagi ini adalah pemohonnya anak-anak muda, enggak perlu dikasih begitu, enggak etis,” tegasnya.
Arief lantas menyarankan Pemohon untuk menghapus kalimat provokatif tersebut dari permohonannya. Menurutnya, di balik hukum terdapat juga soal moral, etika dan kepantasan.
Selain Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Arsul Sani juga menyoroti kalimat provokatif yang melarang anak bungsu Presiden Joko Widodo itu. Menurutnya, kalimat tersebut harus dihilangkan dari permohonan.
“Sebaiknya judul permohonan yang berbunyi ‘Kaesang Dilarang Jadi Gubernur’ itu tidak perlu ada,” kata Arsul.
Di sisi lain, Arsul juga menyebut bahwa putusan Lembaga Penegak Konstitusi tersebut bersifat erga omnes, atau berlaku terhadap semua pihak dan masyarakat. Menurutnya, apabila permohonan tersebut dikabulkan ataupun tidak dikabulkan, maka putusan berlaku mengikat untuk semua.
“Jadi ini bukan permohonan tentang orang perorangan, atau tentang terhadap orang tertentu, bukan itu,” katanya.
Arsul juga turut memberikan nasihat agar Pemohon fokus terhadap Pasal yang diujikan, bukan menguji putusan lembaga peradilan lain di Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonanya, Pemohon menyinggung soal Putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2024 terkait penetapan batas usia calon kepala daerah ditetapkan sejak pasangan calon dilantik sebagai Kepala Daerah.
Untuk diketahui, Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur 30 tahun serta calon bupati/wali kota dan wakilnya 25 tahun.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menetapkan perhitungan usia kepala daerah dihitung pada saat Pelaksanaan Pemungutan Suara Pasangan Calon.*
Laporan Syahrul Baihaqi