FORUM KEADILAN – Belum lama ini, pemerintah secara resmi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pengaturan Pengguguran Kandungan atau aborsi.
PP ini mengundang banyak pro dan kontra di masyarakat sejak diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 26/7/2024 lalu.
Sementara menurut pandangan dari tenaga medis, peraturan ini disebut sangat progresif.
“Satu sisi, peraturan ini yang sangat progresif tapi tergantung bagaimana implementasinya,” kata spesialis Kandungan, dr Ivander Ramon Utama, kepada Forum Keadilan, Minggu, 4/8/2024.
Ia mengatakan, sebenarnya pelegalan aborsi bukan hal baru, karena di beberapa negara lain peraturan tersebut sudah ada sejak bertahun-tahun lalu.
“Tapi aturan seperti ini baru-baru ini dibatalkan oleh Amerika. Pembatalan ini disinyalir karena ada satu lain hal,” ujarnya.
Tak ayal jika Ivan berpandangan peraturan ini akan menimbulkan masalah baru.
“Beberapa orang akan memanfaatkan hal tersebut dengan melakukan berbagai cara untuk aborsi. Ini aturan yang baik, tapi di kalangan masyarakat pasti akan ada pro kontra,” ungkapnya.
Ivan mengungkapkan bahwa di kalangan tenaga medis sendiri terbagi menjadi dua, yang mendukung dan menolak.
“Pertama ada yang pro-choice, yang mana kehamilan ini menjadi keputusan dari sang Ibu atau keluarga, soal kesiapannya untuk melanjutkan atau tidak,” katanya.
Sementara ada juga yang mendukung pro-life yang mana kehamilan tersebut memang baik sehingga tidak boleh melakukan aborsi.
“Sejauh ini, kita masih berjalan di garis abu-abu mengenai aborsi. Apakah aborsi ini bisa dilakukan jika membahayakan Ibu? Atau memang kandungannya bermasalah seperti embrio yang tidak berkembang atau ada hal fatal pada embrio atau tidak hidup, itu bisa aborsi?” jelasnya.
Di samping itu, ia mengungkapkan selama ini korban seksual banyak yang tidak terjangkau oleh pemerintah.
“Banyak yang terpaksa melanjutkan kehamilan. Akan tetapi, tentunya kita harus melihat keadaan dari korban terlebih dahulu, kita tidak bisa mengambil keputusan hitam di atas putih mengenai hal tersebut,” ujarnya.
Contohnya, karena kekerasan seksual, kehamilan tersebut kan menjadi beban untuk calon Ibu, orang tua dan keluarganya. Untuk itu langkah aborsi bisa diambil.
“Atau pilihan lain seperti melanjutkan kehamilan, dengan menggandeng bantuan dari pemerintah seperti dinas sosial,” ucapnya.
Sementara itu, Aktivis Perempuan Poppy Dihardjo berpendapat, selama ini banyak yang berkomentar tentang PP aborsi hanya dari sudut pandangan norma, budaya, hingga agama saja.
“Tapi tidak memikirkan mengenai psikologis dan masa depan para korban rudapaksa seperti anak-anak, yang justru membahayakan jiwa mereka jika kehamilan dilanjutkan,” imbuhnya.
Selain itu, mengenai upaya penyalahgunaan PP Nomor 28 Tahun 2024, hanya berkutat pada urusan meregulasi tubuh perempuan agar tidak terlalu bebas dalam berhubungan, lalu berpura-pura diperkosa biar bisa aborsi.
“Padahal ketentuannya (PP aborsi) juga spesifik untuk korban perkosaan, bukan bebas aborsi buat siapa saja yang ingin melakukannya,” tegasnya.
Lebih lanjut, stigma ‘menambah dosa’ masih lekat dipikiran masyarakat Indonesia dalam menyambut PP aborsi ini. Padahal, memaksakan kehamilan juga termasuk dalam bentuk kekerasan, katanya. *
Laporan Novia Suhari