FORUM KEADILAN – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengkritik kisruh soal izin tambang untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Menurut Megawati, daripada mempermasalahkan izin tambang untuk ormas keagamaan lebih baik menyoroti soal kenaikan harga pangan.
“Orang urusan tambang saja sekarang orang pada heboh, maunya nyari tambang nyari tambang. Saya tuh sampai bilang sama teman-teman, makan noh tambang iku. Nanti kalau udah nggak ada beras terus piye,” kata Megawati saat berpidato kebangsaan di acara Mukernas Partai Perindo di Jakarta Concert Hall, Jakarta Pusat, Selasa, 30/7/2024.
Presiden ke-5 Republik Indonesia itu juga menyinggung bahwa saat ini negara-negara yang biasa melakukan impor beras sedang ketar-ketir. Menurut dia, negara-negara lain saat ini menahan diri untuk melakukan ekspor karena untuk rakyatnya sendiri.
“Nah kita terus mau carinya ke mana? Kami di PDI Perjuangan sudah 4 tahun kayanya saya memberikan instruksi kepada seluruh jajaran untuk menanam, mari menanam 10 macam tanaman yang saya namakan pendamping beras, bukannya pengganti,” ujarnya.
Menurut Megawati, 10 macam tanaman pendamping itu bukan untuk menggantikan bahan pokok yang sudah ada. Baginya, upaya tersebut sebagai bentuk antisipasi apabila negara lain terus menahan mengeluarkan bahan pokoknya.
“Loh kalau nanti nggak ada, jangan dipikir loh mau impor, impornya saja ditahan. Itu kan harus waras kita berpikirnya, harus pintar kita berpikirnya, kalau kemudian itu jadi terus kita bingung mau cari ke mana,” ucapnya.
Sebelumnya, masyarakat tengah mempersoalkan izin tambang untuk ormas keagamaan yang diberikan oleh pemerintah. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang merupakan ormas keagamaan menjadi penerima pertama surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) itu.
Selain PBNU, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah secara resmi sudah menerima tawaran untuk mengelola pertambangan. Keputusan tersebut ditetapkan usai Rapat Konsolidasi Nasional yang digelar di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu, 28/7.*
Laporan M. HafidĀ