Sabtu, 19 Juli 2025
Menu

Diduga Langgar Etik Tangani Kasus Penyerobotan Tanah, Sejumlah Hakim Dilaporkan ke KY

Redaksi
Kuasa hukum dan koordinator ahli waris dari H Abdul Halim bin H Ali, H Makawi saat RDPU dengan Komisi III DPR RI, Rabu, 10/7/2024 | ist
Kuasa hukum dan koordinator ahli waris dari H Abdul Halim bin H Ali, H Makawi saat RDPU dengan Komisi III DPR RI, Rabu, 10/7/2024 | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ahli waris H Abdul Halim, H Makawi melaporkan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diduga dilakukan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia ke Komisi Yudisial (KY).

Adapun beberapa hakim yang dilaporkan tersebut tercatat sebagai hakim yang menangani perkara No 28 PK/Pdt/2024 tertanggal 19 Juni 2024 Jo No 2130 K/ PDT/2022 tanggal 28 Juli 2022 Jo No 528/PDT/2021/PT. DKI tanggal 23 Desember 2021.

Kuasa hukum Makawi, Suhadi mengatakan, para hakim itu disebut telah mengesahkan Akta jual beli (AJB) yang diduga fiktif. Dimana AJB tersebut diduga menjadi dasar terbitnya sertifikat-sertifikat oleh PT SMR.

Suhadi menjelaskan, pada 1981 PT SMR diduga secara diam-diam menguasai tanah orang tua Makawi (alm H Abdul Halim Bin H Ali) berdasarkan atas hak AJB yang dibuat pada Kantor PPAT Camat Koja yang diduga tidak benar.

AJB tersebut antara lain, AJB No 14/I/38/1981 tertanggal 7 Februari 1981 antara H Abdul Halim (Penjual) dengan Asikin (Pembeli); AJB No 22/I/38/1981 tertanggal 18 Februari 1981 antara H Abdul Halim (Penjual) dengan H Subuh (Pembeli); AJB No 25/I/38/1981 tertanggal 2 Maret 1981 antara H Abdul Halim (Penjual) dengan Hj Rosani (Pembeli).

“Dari AJB-AJB yang kami duga fiktif tersebut oleh PT SMR telah jadikan dasar dalam penerbitan Sertifikat HGB sebagai berikut: SHGB No 1705/Pegangsaan Dua tertanggal 9 Januari 1989 SHGB No. 187/Kelapa Gading Barat tertanggal 3 November 1990, SHGB No. 3277/Pegangsaan Dua tertanggal 3 November 1990, SHGB No 3900/ Kelapa Gading Barat tertanggal 17 Mei 1996
dan SHGB No 4496/Kelapa Gading Barat tertanggal 11 Maret 1997,” kata Suhadi dalam keterangannya, usai berkirim surat ke KY, Rabu, 17/7/2024.

Suhadi menduga keras jual beli yang dilakukan pada 1981 tersebut fiktif, karena orang tua Makawi sudah meninggal dunia pada tanggal 11 Agustus 1978, jauh sebelum AJB ‘fiktif’ tersebut ditandatangani.

Laporan atau surat Makawi tersebut mengacu Surat Komnas HAM Nomor 309/PL.00.01/VII/2024 tertanggal 11 Juli 2024, yang pada intinya menyatakan bahwa “Komnas HAM telah mempelajari materi pengaduan Saudara, dan menyarankan Saudara dapat melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) ke Komisi Yudisial RI, yang memiliki tugas dan fungsi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain itu, Saudara juga dapat melaporkan kode etik hakim ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, dan seterusnya,” bunyi surat dari Komnas HAM.

Seperti diketahui, MA menolak PK nomor 28 PK/Pdt/2024 yang diajukan Makawi, padahal menurut Suhadi, pihak lawan dalam kontra memori PK, bukan menanggapi memori yang ia ajukan, tertanggal 8 Mei 2023 tapi menanggapi PK orang lain No. 430 K/Pdt/2017 tertanggal 21 juni 2017, yang tidak ada kaitannya dalam memori.

Seharusnya lanjut dia, Majelis PK menolak Kontra Termohon PK bukan menjadi pengacara Perusahaan. Dengan demikian, dia menilai bahwa majelis hakim cendrung memihak kepada perusahaan dari pada menegakkan hukum.

“AJB dengan pihak yang sudah meninggal dunia telah dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat atas nama PT dan ini merupakan tindak pidana yang sudah dilaporkan ke kepolisian dan hingga kini tak tau rimbanya,” tuturnya.

Begitu juga dengan Makawi, dia menyesalkan terhadap fakta-fakta yang terang benderang namun oleh Majelis PK tak mempertimbangkannya.

“Malah ngelantur tanpa arah dan seperti tidak paham hukum, Majelis seperti ini layaknya di skor karena kalau tidak hukum menjadi rusak. Jadi melihat keadaan ini Mahkamah Agung tidak bisa diharapkan menjadi benteng pencari keadilan. Karena dengan alat bukti yang terang benderang saja Majelis Hakim mengabaikannya dan kalau boleh jujur disembunyikan dan mencari-cari alasan untuk menolak PK kami,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid