Sabtu, 12 Juli 2025
Menu

Pucuk Penyiksaan Oknum Polisi Indonesia

Redaksi
Ilustrasi intimidasi | Ist
Ilustrasi intimidasi | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Kematian anak dengan inisial AM (13) tak hanya mengundang atensi dari pegiat hukum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) dan juga Komisi Kepolisian Nasional Kompolnas. Kasus ini juga mendapat perhatian khusus dari masyarakat Indonesia.

Sebagaimana diketahui, AM ditemukan tak bernyawa di bawah Jembatan Kuranji, Padang, dengan luka lebam di sejumlah bagian tubuhnya. AM diduga tewas setelah disiksa sejumlah oknum polisi dari anggota Samapta Bhayangkara (Sabhara) Polda Sumatera Barat (Sumbar) yang bertugas untuk mencegah terjadinya tawuran, Minggu, 9/6/2024.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani mengatakan bahwa lembaganya telah mengawal kasus kematian AM sejak jenazahnya ditemukan meninggal di bawah Jembatan Batang Kuranji, Padang, pada pukul 11.00 siang. Ia menyebut, AM tewas dengan luka lebam bekas tindak kekerasan.

“Kami menduga tidak hanya AM, tapi anak-anak lainnya mendapat penyiksaan yang diduga dilakukan aparat. Mereka ditangkap dan disiksa karena dituduh melakukan tawuran,” kata Indira dalam diskusi peringatan Hari Anti Penyiksaan internasional bertajuk ‘Penyiksaan: Asian Value?’ yang digelar di Kantor AII, Jakarta, Rabu, 26/6.

Ia mengatakan bahwa penyiksaan tidak hanya terjadi kepada AM, namun juga anak-anak lainnya. Seperti S (16) di mana ia dipukul dan ditendang. Selain itu, terdapat sundutan rokok sebanyak 15 titik di sekujur tubuhnya. Selain S, anak dengan inisial W (16) juga mendapatkan pukulan sebanyak dua kali di bagian kepala dan juga tendangan di bagian punggung.

Ada juga salah satu korban anak yang terjatuh karena motor yang ia kendarai ditendang oleh Polisi. Ia bahkan juga terkejut ketika mengetahui pengakuan korban di mana mereka dipaksa untuk melakukan ciuman sesama jenis ketika diamankan di Polsek Kuranji.

Atas kejadian tersebut, LBH Padang telah melapor ke Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sumatera Barat dan juga Komnas HAM. Ia menegaskan, lembaganya akan mengawal kasus ini sampai selesai demi memperoleh keadilan bagi para korban.

Sebelum peristiwa penyiksaan terhadap AM mencuat, Indira mengatakan bahwa pada tahun 2022 juga terjadi kasus dugaan penyiksaan terhadap seorang anak oleh polisi berinisial AH.

Penyiksaan tersebut terjadi di wilayah Kabupaten Agam, di mana seorang anak disiksa di sebuah gubuk. Indira menyebut polisi memukul korban dengan balok sampai 4 kali pukulan. Setelah penyiksaan selesai, terdapat satu anggota lain yang masuk dan membawa korban untuk diamankan.

Di sore harinya, kata dia, korban kembali ke rumah dan setelahnya meninggal di tempat. Atas kematian anak tersebut, pihak keluarga melaporkan kejadian tersebut ke Polres Agam.

“Namun sekitar awal 2024 Polda Sumbar menghentikan kasus ini dengan SP3. Kami melakukan praperadilan dan kami memenangkan kasus itu dan meminta untuk dilanjutkan kasus itu. Tapi hingga saat ini, Polda Sumbar belum melakukan apa-apa terhadap tersangka AH,” tuturnya.

Tindakan sewenang-wenang aparat kepolisian merupakan fenomena dari gunung es yang tidak pernah terselesaikan. Dengan dalih ketertiban hukum atapun alasan lainnya, kekerasan dan tindak penyiksaan tidak dapat dibenarkan. Apalagi sampai merampas hak asasi manusia seseorang dengan cara disiksa dan dianiaya hingga tewas.

 

 

Polisi Jadi Aktor Paling Banyak Lakukan Penyiksaan

Amnesty Internasional Indonesia (AII) menyebut bahwa tren penyiksaan di Indonesia secara umum cenderung naik masih terus ada dan cenderung naik kasusnya dan korbannya.

Sejak Juli 2019, Amnesty mencatat terdapat sebanyak 226 korban penyiksaan di Indonesia. Pada tahun 2021-2022, Amnesty mencatat terdapat 15 kasus penyiksaan dengan 25 korban.

Sedangkan pada tahun 2022-2023 terdapat 16 kasus dengan 25 korban, sedangkan di 2023-2024 terdapat 30 kasus dengan 49 korban penyiksaan.

Dalam catatan mereka, Polisi menjadi salah satu aktor pelaku paling banyak melakukan penyiksaan di Indonesia. Polri menempati urutan pertama pelaku penyiksaan dengan angka 75 persen.

Sedangkan di posisi kedua, ditempati TNI dengan 19 persen. Sementara itu, TNI-Polri sebanyak 5 persen dan petugas lapas sebanyak 1 persen.

Data Amnesty diperkuat oleh pernyataan Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah. Dia mengungkapkan bahwa bahwa pihak teradu atau yang diadukan paling banyak sebagian besar adalah Polri.

Komnas HAM telah menerima data pengaduan penyiksaan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Pada tahun 2020 Komnas HAM menerima sebanyak 73 kasus penyiksaan dan di tahun 2021 sebanyak 62 kasus. Sedangkan pada tahun 2022, terdapat 82 kasus aduan yang masuk dan di tahun 2023 terdapat 48 kasus yang masuk. Sedangkan dari awal Januari sampai Juni 2024, Komnas HAM telah menerima sebanyak 17 kasus.

Anis menyebut dalam kurun 4 tahun terakhir, setidaknya lembaganya telah menerima aduan dari masyarakat sebanyak 282 kasus penyiksaan dan ditangani dengan melalui mekanisme pemantauan. Ia juga menegaskan bahwa angka 282 kasus tersebut bukan merupakan jumlah korban. Menurutnya, dalam satu kasus bisa terdapat korban lebih dari 1 orang.

Dari sebanyak 282 kasus aduan yang masuk, Anis mengatakan bahwa pihak teradu atau yang diadukan paling banyak sebagian besar adalah Polri (176), TNI (15), Lapas (10), Lembaga Peradilan (1), Lembaga negara (non-kementerian) (4), dan pemerintah pusat (Kementerian) (3).

“Klasifikasi kasus yang paling sering disampaikan adalah kekerasan oleh aparat, baik dalam bentuk interogasi dengan penyiksaan, penggusuran atau relokasi, kekerasan pada tahanan, begitu pula pembunuhan atau penganiayaan oleh aparat, pemeriksaan terhadap pelapor dan/saksi disertai intimidasi dan perlakuan tidak manusiawi, maupun penangkapan dengan penggunaan senjata api secara berlebihan,” kata Anis.

Namun, ia menegaskan bahwa data yang telah masuk ke dalam catatan Komnas HAM tidak bisa merepresntasikan data-data penyiksaan yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Ia meyakini, masih banyak masyarakat yang belum melaporkan kasus penyiksaan yang terjadi pada mereka kepada Komnas HAM.

 

Viral Dulu, Keadilan Kemudian

Fenomena ‘No viral no justice’ seolah menjadi sindiran bagi institusi Polri yang tidak sigap dalam menindaklanjuti laporan yang diadukan oleh masyarakat. Beberapa masyarakat bahkan lebih memilih untuk memviralkan kasus yang dialami mereka ke media sosial ketimbang membuat laporan ke Polisi.

Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menilai, hal tersebut seolah telah menjadi tren di masyarakat. Ia menyebut bahwa dengan memviralkan suatu kejadian maka hal tersebut mendapat atensi lebih besar di masyarakat.

Oleh karena itu, Kompolnas mendorong Polri untuk membuka dan melakukan penyelidikan pada kasus-kasus yang telah mandek sejak lama. Apalagi, kata dia, masih banyak kasus yang belum terungkap seperti kasus pembunuhan mahasiswa UI, pembunuhan pelajar di Bogor, pembunuhan ASN di Semarang, dan juga kasus pembunuhan Vina di Cirebon.

“Kami sampaikan ke Polri untuk setiap kasus jangan menunggu viral dulu. Dan ini perlu pembelajaran agar para atasan mengawasi,” ucap Benny kepada wartawan.

Untuk itu, ia merekomendasikan agar anggota polisi yang bertugas di lapangan menggunakan body camera supaya pimpinan dapat memonitor pergerakan anggota mereka. Hal ini guna mencegah tindak kekerasan yang akan dilakukan.

Selain penggunaan body camera, Kompolnas juga merekomendasikan penggunaan kamera pengawas atau CCTV di ruang pemeriksaan. Hal ini, kata Benny, untuk mencegah terjadinya penyiksaan pada saat melakukan pemeriksaan terhadap saksi ataupun korban.

Ditemui usai diskusi, Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia (AII) Wirya Adiwena mengatakan bahwa tren penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum masih terus berlanjut di Indonesia. Ia menuturkan, fenomena penyiksaan ini ibarat dari puncak gunung es.

Menurutnya, fenomena viralitas merupakan sebuah mekanisme kontrol publik yang baik. Namun di sisi lain, pemerintah dan aparat tidak seharusnya menjadikan hal tersebut sebagai tumpuan untuk mengontrol penggunaan kekerasan dan kekuatan oleh aparat keamanan.

Lebih lanjut, Wirya menjelaskan bahwa diperlukan mekanisme kontrol yang secara struktural memiliki kewenangan untuk memastikan kejadian penyiksaan tersebut tidak kembali terulang.

Ia menyayangkan kasus-kasus penyiksaan yang terjadi baik kepada anak di bawah umur di Padang, kepada Orang Asli Papua dan juga beberapa penyiksaan yang terjadi di wilayah-wilayah Indonesia.

“Ini pun sebenarnya adalah fenomena gunung es. Satu lagi kasus yang muncul ke permukaan karena viral karena banyak orang menyoroti. Sangat menyedihkan bahwa kasus yang sedemikian tragisnya tragedi secara garis besar ini harus bergantung pada viralitas untuk kemudian mendapatkan perhatian aparat keamanan dan dari pejabat publik,” ucap Wirya.

Lebih lanjut, Wirya mengklaim banyak kasus-kasus penyiksaan lain yang tidak muncul karena tidak viral ataupun tidak terekam di media sosial. Terkadang, kata dia, viralitas tersebut disikapi dengan ancaman oleh para aparat.

Ia lantas mempertanyakan seberapa serius aparat penegak hukum untuk berusaha mengakhiri fenomena penyiksaan di Indonesia.

“Jadi jangan sampai pemerintah atau aparat menganggap keberhasilan mereka menanggapi kasus yang viral itu sebagai keberhasilan institusi,” tuturnya.

Laporan Syahrul Baihaqi