Survei KedaiKOPI: 49,2% Responden Tak Setuju Pembatasan Usia Kendaraan di DKJ

FORUM KEADILAN – Lembaga Survei KedaiKOPI merilis hasil survei opini publik yang dilakukan pada 11–14 Juni 2024 mengenai rencana pembatasan usia dan jumlah kepemilikan kendaraan di Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Adapun aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).
Dari hasil survei tersebut, sebanyak 49,2 persen responden menyatakan tidak setuju terhadap kebijakan yang membatasi usia dan jumlah kepemilikan kendaraan di Jakarta.
“Berdasarkan temuan sebanyak 49,2 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak setuju. Angka ini lebih banyak dibandingkan dengan publik yang setuju dengan persentase 40,2 persen, dan 10,6 persen sisanya mengaku tidak tahu dengan adanya kebijakan tersebut,” ungkap Direktur Riset & Komunikasi KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Rabu, 26/6/2024.
Bahkan, responden yang berasal dari generasi X dan milenial menunjukkan tingkat ketidaksetujuan lebih dari 50 persen, yaitu masing-masing sebesar 57,9 persen dan 55,2 persen.
Sebanyak 54,7 persen masyarakat yang tidak setuju beralasan bahwa kondisi ekonomi saat ini masih sulit untuk membeli kendaraan baru secara berkala jika pembatasan usia kendaraan diberlakukan.
“54,7 persen yang menyatakan tidak setuju beralasan bahwa kondisi masyarakat secara ekonomi sangat sulit untuk meremajakan kendaraan pribadinya, misalkan setiap 10 tahun sekali,” ujarnya.
Sedangkan, faktor kedua terbesar dari ketidaksetujuan masyarakat adalah keinginan agar pemerintah lebih berfokus pada kelayakan kendaraan daripada usia kendaraan.
Kemudian alasan terbesar ketiga, dengan persentase sebanyak 13,2 persen, adalah ketersediaan akses transportasi umum yang tidak merata.
Ibnu melanjutkan bahwa selain polusi dan kemacetan, masyarakat Jabodetabek saat ini sudah menyadari dan merasakan bahaya dari menumpuknya kendaraan yang berlalu-lalang di Jakarta.
Menanggapi temuan survei tersebut, Anggota DPRD DKI Jakarta fraksi PKS Dedi Supriadi berkaca pada salah satu kota di Eropa yang tidak menerapkan aturan pembatasan usia kendaraan.
“Kota Budapest di Hungaria, di sana tidak ada tuh aturan yang batasi usia kendaraan. Tapi di sana polusi dan kemacetan sangat terkendali dan tidak memunculkan masalah berarti,” katanya.
Dedi juga mengungkapkan bahwa secara pribadi, ia tidak setuju dengan aturan yang membatasi usia kendaraan, dan masyarakat akan sangat terbebani apabila aturan ini diterapkan.
“Masyarakat masih membutuhkan kendaraan yang mereka miliki saat ini, untuk mencari nafkah, dan tidak setiap orang memiliki kemewahan untuk mengganti kendaraan secara berkala. Ya, masyarakat lagi yang akhirnya terbebani,” jelasnya
“Jadi tidak perlu lah adanya aturan pembatasan kendaraan,” sambungnya.
Selaras dengan Dedi, pengamat otomotif Billy Sudiro juga mengungkapkan penolakannya terhadap aturan ini.
“Tapi teman-teman di komunitas juga sudah jelas menunjukkan sikap menolak. Kita tidak bisa pungkiri kalau ada orang-orang yang memang memiliki hobi otomotif dan merawat kendaraan tua sebagai hobi, dan pasti mereka akan terdampak,” katanya.
Billy menuturkan bahwa aturan ini akan berdampak luas terutama pada bisnis, seperti bengkel, industri aftermarket, dan lainnya.
Billy menjelaskan, sektor otomotif menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup tinggi di Jakarta, yaitu sebesar Rp17 triliun.
Menurut Billy, jika aturan pembatasan kepemilikan kendaraan ini diterapkan, Jakarta akan kehilangan PAD dalam jumlah yang cukup signifikan.
“Pendapatan ini didapat mulai dari parkir, pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar, bea balik nama, dan lainnya. Ya, kalau kepemilikan kendaraan dibatasi, otomatis jumlah PAD ini juga berkurang signifikan,” ungkapnya.
Sedangkan, pengamat kebijakan publik Sugiyanto menjelaskan bahwa sebelumnya sudah ada aturan yang membatasi usia kendaraan di Jakarta yang ditujukan pada kendaraan umum.
Namun, Sugiyanto menilai, masih dibutuhkan solusi yang seimbang untuk mendukung penyelesaian permasalahan transportasi di Jakarta.
“Jangan juga aturannya dibuat secara ekstrem dan membatasi jumlah dan usia kendaraan secara ekstrem. Jadi perlu aturan yang bertahap sambil membenahi infrastruktur dan fasilitas transportasi publik, serta program insentif untuk masyarakat agar bisa membeli kendaraan baru secara berkala,” tegasnya.*
Laporan Novia Suhari