Pemerintah Diminta Bentuk Pencegahan-Penanganan Kekerasan Gender dalam Pemilu

FORUM KEADILAN – Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, perempuan dan kelompok rentan kerap mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG). Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk membentuk mekanisme pencegahan dan penanganan KBG dalam pemilu.
Koalisi menilai, KBG dalam pemilu dapat diartikan sebagai kekerasan yang ditujukan kepada individu, karena seks dan gender serta harapan dan perannya dalam masyarakat atau budaya, sehingga membatasi mereka dalam berpartisipasi di ruang politik maupun pemilu.
Direktur Eksekutif Kalyanamitra Ika Agustina menyatakan, kekerasan berbasis gender dalam pemilu tidak hanya merugikan korban, namun juga merusak integritas demokrasi di suatu negara. Berdasarkan hasil kajian Kalyanamitra, kata dia, KBG berdampak pada berkurangnya angka perempuan untuk berkontestasi dalam pemilu.
Apalagi, tingkat partisipasi perempuan dalam pemilu secara nasional belum menyentuh angka 30 persen. Ika mencontohkan hasil Pemilu 2019 di mana keterwakilan perempuan di DPR hanya berada di angka 20,8 persen atau sekitar 120 anggota legislatif perempuan dari total 575 anggota DPR RI.
Ika menilai, kekerasan berbasis gender menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Menurutnya, hal ini juga bertentangan dengan upaya untuk mendorong peningkatan partisipasi perempuan yang sampai saat ini masih di bawa angka 30 persen.
“Pemerintah perlu membuat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di masa pemilu untuk menciptakan iklim pemilu yang adil, inklusif, dan bebas kekerasan,” ucap Ika dalam diskusi bertajuk ‘Hasil Pemantauan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu di Indonesia’, Senin, 24/6/2024.
Kalyanamitra mengungkapkan ragam kekerasan berbasis gender dalam pemilu yang bisa diidentifikasi, seperti pelecehan, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual, baik di publik maupun di media sosial.
Lebih lanjut, Ika menjelaskan bahwa KBG dalam pemilu dapat muncul karena beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Faktor-faktor tersebut ialah budaya patriarki dan norma gender; stereotype gender; media dan representasi serta ketimpangan relasi kekuasaan.
Di samping itu, kata Ika, hal ini juga terjadi karena adanya persaingan politik baik antar partai ataupun antar calon, minimnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, juga adanya impunitas atau kekebalan hukum bagi para pelaku.
Selain meminta pemerintah untuk menciptakan mekanisme pencegahan KBG, koalisi juga meminta agar penegakan hukum terhadap pelaku KBG mendapatkan sanksi yang tegas.
Mereka pun mendesak agar negara memberikan edukasi atas pentingnya pemilu yang inklusif dan bebas dari kekerasan serta mendukung korban kekerasan berbasis gender.
Adapun koalisi masyarakat sipil tersebut terdiri dari beberapa organisasi, di antaranya Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Asosiasi APIK, PEKKA, LAPPAN Ambon, Flower Aceh, Perludem, dan juga SAFEnet. Mereka melakukan pendokumentasian dan pemantauan KBG di masa pemilu dalam rentang waktu dari bulan Februari hingga Mei 2024.
Minim Regulasi dan Penegakan Hukum
Pada kesempatan yang sama, Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti mengatakan bahwa selama pemilu berlangsung, lembaganya telah membuat posko aduan kekerasan berbasis gender. Namun, kata dia, hal tersebut belum menjadi perhatian besar, sehingga tidak ada laporan khusus yang masuk ke lembaganya.
Dalam kesempatan itu, Sutanti menegaskan, agenda KBG dalam pemilu harus masuk ke dalam sistem penyelenggaraan pemilu dan partai politik. Ia menyebut, hal ini dapat dimulai dengan penguatan lembaga penyelenggara pemilu.
Apalagi, kata dia, banyak kasus KBG yang terjadi di lapangan, namun kasus tersebut tidak dilaporkan ke lembaga pengawas pemilu, terutama yang berkaitan erat dengan kekerasan seksual. Menurutnya, hal itu terjadi karena tidak adanya saluran untuk melaporkan dalam sistem penyelenggaraan pemilu.
“Kita berharap bahwa pertama harus ada tata kelola dari penyelenggaraan pemilu dan partai politik yang harus diubah,” ucap Sutanti.
Menurut Sutanti, diperlukan semacam dasar-dasar konkret yang perlu dimasukan dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karenanya, ia menyebutkan bahwa seluruh aturan pemilu yang ada harus di-review kembali dengan memasukkan kekerasan berbasis gender dalam kode etik penyelenggaraan pemilu.
“(Kode etik) tidak boleh samar-samar, harus konkret. Jika tidak terkadang dilupakan. Apalagi kekerasan seksual, jelas-jelas itu pelanggaran etik. Itu harus dimasukan secara eksplisit di dalam kode etik dan aturan penyelenggaraan pemilu yang lain,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menyebut, bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam politik seolah-olah menjadi sebuah harga bagi demokrasi.
“Ada anggapan memang politik itu keras, politik itu saling sikut, sehingga ketika itu berdampak kepada perempuan ya dianggap sesuatu yang wajar, hal yang lumrah-lumrah saja kalau terjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan,” ucap Ninis.
Dengan penegakan hukum yang masih minim, Sutanti menduga bahwa caleg perempuan takut untuk melaporkan kekerasan berbasis gender yang terjadi kepada dirinya.
Alasan lain para korban tidak mengadu adalah karena hal ini berdampak terhadap karier politik, sehingga tidak ada ruang untuk berbicara terkait kekerasan terhadap perempuan dalam politik.
“Jika berbicara data tentang kekerasan terhadap perempuan dalam politik, datanya masih sedikit karena jangan-jangan tadi, keinginan untuk mengangkat atau membicarakan hal ini juga masih tertutup bagi perempuan karena memikirkan dampak jangka panjangnya,” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi