Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Mahfud MD: Eksekutif Intervensionis

Redaksi
Mahfud MD di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 14/6/2024. I M. Hafid/Forum Keadilan
Mahfud MD di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 14/6/2024. I M. Hafid/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut dunia hukum di Indonesia terus mengalami intervensi oleh penguasa.

Menurut Mahfud, hal itu tercermin dari tindak tanduk eksekutif yang mencampuri lembaga legislatif dalam membuat aturan. Bahkan pemerintah mengancam mereka yang tidak mau mengikuti keinginannya.

“Kita jangan teledor bahwa ini, perilaku-perilaku begini sudah muncul. Eksekutifnya intervensionis. Masuk ke sana, masuk ke sana, pakai bansos, pakai apa, pokoknya masuk. Enggak bisa baik-baik, injak kakinya,” kata Mahfud dalam acara Sekolah Hukum yang diadakan oleh DPP PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 14/6/2024.

Mahfud mengatakan, legislatif saat ini terlihat hanya menjadi lembaga rubber stamp atau tukang stempel dari keinginan eksekutif. Legislatif hanya menjadi pengusul undang-undang yang diinginkan rezim.

Guru Besar Hukum Tata Negara itu juga mengungkapkan, tindakan seperti itu menandakan sikap otoriterianisme penguasa. Alhasil otoriterianisme hanya akan menghasilkan hukum bersifat ortodoks konservatif. Artinya, pembuatan aturan bersifat sentralistik dan diatur dari pusat.

Selain itu, ortodoks konservatif membuat hukum menjadi semacam pembenaran terhadap keinginan penguasa atau positivistik instrumentalistik.

“Sesuatu yang diinginkan itu dijadikan instrumen pembenar, dipositifkan menjadi hukum positif. Saya ingin umur calon kepala desa sekian. Lho enggak bisa, Pak, ya (dipaksa) dipositifkan bagaimana caranya, suruh DPR ubah, suruh KPU, suruh pengadilan, langgar semua prosedur yang tersedia,” ujarnya.

“Dahulu tahu, anak seorang lurah ingin punya pabrik mobil, bagaimana? Anda punya uang? Positifkan saja, masukkan di GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Presiden Suharto sebagai mandataris MPR diwajibkan memajukan mobil nasional, membentuk perusahaan mobil nasional agar Indonesia mandiri. Itu perintah dari GBHN, jadi suruh sendiri, suruh perintahkan, sesudah itu diteken perpres-nya, mobil nasional diberikan kepada PT ini dengan bebas pajak lokal dan sekian persen pajak luar, pajak dari bahan-bahan luar. Jadi enak dong, pasti untung. Maksudnya hanya ada untungnya. Itu namanya positivistik instrumentalistik,” imbuhnya.

Menurut Mahfud, ciri negara demokratis terlihat dari lembaga legislatifnya yang menjadi penentu dalam membuat perundang-undangan dengan melibatkan aspirasi rakyat, bukan kehendak elite semata.

“Legislatif menjadi penentu. Legislatif itu menentukan. Bukan menentukan, tetapi diam-diam dicokok. Kamu menentukan, tetapi disuruh menentukan. Ini loh yang kamu tentukan. Dipesan. Itu tidak demokratis,” tuturnya.

Ciri lainnya, lanjut Mahfud, interpretasi hukum dibatasi, sehingga tidak terjadi penafsiran hukum secara sewenang-wenang.

“Tafsir implementatif-nya dibatasi. Enggak boleh sembarang kamu tafsirkan hukum. Ini undang-undang sudah berbunyi begini, kamu jangan buat tafsir ngawur. Oleh sebab itu, lalu ada cara-cara menafsirkan hukum di dalam ilmu perundang-undangan itu, agar tafsir implementasi hukum itu tidak sewenang-wenang,” pungkasnya.

Laporan M. Hafid