Minggu, 06 Juli 2025
Menu

UU KIA Disahkan, Komnas Perempuan: Riskan, Tidak Memiliki Daya Implementasi

Redaksi
Logo Komnas Perempuan | Website Komnas Perempuan
Logo Komnas Perempuan | Website Komnas Perempuan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sudah mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang salah satunya mengatur agar ibu berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus.

Diketahui, Komnas Perempuan memberikan beberapa catatan terhadap UU tersebut.

Komnas Perempuan pada awalnya mengapresiasi niat penguatan tanggung jawab pemerintah dalam memastikan kesejahteraan ibu dan anak, berserta memberikan catatan. Komnas Perempuan menilai daya implementasi dari UU ini juga perlu menjadi perhatian.

Komnas Perempuan menilai, penguatan peran pemerintah dalam hal kesejahteraan ibu dan anak, terutama dalam fase 1.000 hari pertama kelahiran dalam pemenuhan hak, terutamanya hak untuk hidup dengan sejahtera lahir dan batin. Termasuk dalam upaya ini adalah memberikan dukungan bagi perempuan agar mendapatkan dukungan saat berada dalam masa kehamilan dan setelah melahirkan.

“UU ini riskan tidak memiliki daya implementasi,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam keterangannya, Sabtu, 8/6/2024.

Andy menjelaskan bahwa hal ini didasarkan pencermatan Komnas Perempuan bahwa sudah ada beberapa Undang-Undang dan kebijakan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak yang dinyatakan tetap berlaku walaupun sudah ada UU KIA, ego sektoral yang sering kali diajukan sebagai hambatan dalam koordinasi, dan kesulitan untuk pengawasan kewajiban ibu dan ayah.

Andy juga menambahkan terdapat persoalan struktural yang menyebabkan kewajiban individual yang diatur dalam UU tersebut tidak dapat dilaksanakan. Ia menyebut, misalnya dalam hal penyediaan gizi seimbang di dalam keluarga miskin.

“Peningkatan daya koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak atau KPPPA menjadi kunci dari implementasi UU ini,” katanya.

Di sisi lain, Komisioner Alimatul Qibtiyah menjelaskan hal ini yang menjadi perhatian Komnas Perempuan adalah kecenderungan UU KIA meneguhkan perspektif pembakuan peran domestik perempuan. Salah satunya ditunjukkan dengan perumusan mengenai hak ibu dan ayah.

“Sementara Undang-Undang ini mendorong pelibatan lebih aktif dari pihak laki-laki, UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah,” terangnya Alimatul Qibtiyah, seraya menambahkan pengaturan hak tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat 1 poin h.

Alimatul menyebut bahwa contoh lain dari kecenderungan pembakuan peran domestik ini juga terlihatan pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Diketahui, UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sementara itu, cuti untuk suami/ayah hanya bertambah dari 2 hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan. Sementara itu, cuti perempuan dilengkapi dengan skema penggajian, cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan 2 hari.

“Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud,” katanya.

Komisioner Satyawanti Mashudi menekankan, walaupun dengan catatan bahwa peran pengasuhan masih dibebankan kepada perempuan, Komnas Perempuan berpendapat bahwa penambahan hak cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja adalah bagian dari upaya perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.

Hal ini sejalan dengan Pasal 10 Ayat (2) Kovenan Ekosob yang mengatakan Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan.

Selama jangka waktu tersebut para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai.

“Namun UU KIA belum memuat langkah afirmasi lain yang juga dibutuhkan, tentang edukasi bagi perempuan pekerja agar dapat kembali bekerja tanpa harus ketinggalan kariernya,” ujarnya.

Menurutnya, konsentrasi pada seribu hari pertama kehidupan dan peran pengasuhan dapat menyebabkan perempuan terhambat dalam mengakses kesempatan pengembangan diri atau promosi karier.

Di sisi lain, Tiasri Wiandani, Komisioner dan juga ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan mengkhawatirkan bahwa kesenjangan antara perempuan pekerja formal dan informal semakin luas dengan kehadiran UU KIA.

“Hak-hak normatif tentang cuti yang disebutkan dalam Undang-Undang KIA ini hanya dapat dinikmati oleh pekerja sektor formal. Padahal, jumlah terbanyak perempuan pekerja ada di sektor informal,” ucap Tiasri.

Ia menyebut dalam implementasi UU KIA perlu memikirkan insentif bagi perusahaan, yang menurutnya mengenai hak cuti ini tak mudah dilaksanakan karena UU Ketenagakerjaan akan lebih menjadi rujukan oleh pemberi kerja.

Selain itu, lanjut Tiasri, memungkinkan risiko diskriminasi tak langsung ketika pemberi kerja lebih memilih pekerja laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan Undang-Undang, dan daya jangkau pengawasannya lemah.

DPR Sahkan RUU KIA Jadi UU

Diberitakan sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi Undang-Undang.

Pengesahan tersebut dilakukan dalam masa Sidang Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024, Selasa, 4/6/2024.

Wakil Ketua Komisi VIII Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP memaparkan enam substansi dalam UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang disetujui DPR bersama Pemerintah.

Poin pertama ialah perubahan judul dari RUU KIA menjadi UU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Menurut Rieke, perubahan judul ini disepakati dengan mempertimbangkan kohesivitas dengan aturan Undang-Undang.

Kedua, ialah terkait dengan penetapan definisi anak dalam UU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Dalam UU diatur bahwa definisi anak, yaitu dimulai sejak dalam masa kandungan hingga sampai berumur 2 tahun.

Ketiga, terkait perumusan cuti bagi pekerja yang melakukan persalinan, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan selanjutnya apabila terdapat kondisi khusus dengan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Poin keempat berkaitan dengan aturan cuti bagi suami yang mendampingi istri dalam proses persalinan, yaitu sebanyak dua hari cuti. Selain itu, terdapat ketentuan tambahan di mana cuti dapat diberikan tambahan 3 hari berikut sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja.

Sementara untuk suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 2 hari.

Kelima, perumusan tanggung jawab ibu, ayah, dan keluarga pada fase 1000 hari pertama kehidupan. Demikian pula tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

Poin terakhir berkaitan dengan pemberian jaminan pada semua ibu dalam keadaan apa pun. Termasuk ibu dengan kerentanan khusus, seperti ibu yang berhadapan dengan hukum, ibu di lembaga pemasyarakatan, penampungan, dan dalam situasi konflik apa pun bencana.

Selain itu, jaminan tersebut diberikan pada ibu tunggal korban kekerasan, ibu dengan HIV/AIDS, ibu di daerah tertinggal, terdepan dan terluar, dan/atau ibu dengan gangguan jiwa termasuk juga dengan ibu penyandang disabilitas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan terdiri dari 9 Bab dan 46 pasal yang pengaturannya meliputi soal hak dan kewajiban, tugas dan penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi pendanaan, juga partisipasi masyarakat.*