Selasa, 08 Juli 2025
Menu

Putusan MA ‘Golden Ticket’ untuk Anak Jokowi di Pilkada?

Redaksi
Potret Presiden Joko Widodo dan anak sulungnya Kaesang Pangarep
Potret Presiden Joko Widodo dan anak sulungnya Kaesang Pangarep | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Belum lama publik dibuat lupa atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu terkait ambang batas usia minimal presiden dan calon wakil presiden. Kini publik kembali dihadapkan pada situasi serupa, yaitu lolosnya gugatan batas usia minimal kepala daerah yang diputus oleh Mahkamah Agung (MA).

Partai Garuda mengajukan gugatan uji materil pada Pasal 4 Ayat 1 huruf ‘d’ Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pasal itu mengatur tentang batas usia minimal kepala daerah “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon“.

Hanya dalam waktu 3 hari setelah perkara diberikan kepada majelis hakim (27 Mei 2024), ketiga Hakim Agung Yulius serta Hakim Agung Cerah Bangun dan Hakim Agung Yodi Martiono Wahyunadi mengabulkan perkara yang diajukan oleh Partai berlambang Garuda Emas pada 29 Mei 2024.

Dalam putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, Mahkamah memperluas tafsir terkait ambang batas usia minimal kepala daerah. Pada PKPU 9/2020 telah diatur bahwa penghitungan usia minimal untuk kepala daerah ditetapkan saat penetapan pasangan calon. Akan tetapi, MA menyatakan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pilkada dan memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 4 Ayat 1 huruf d pada PKPU 9/2020.

Mahkamah memutuskan, syarat pencalonan kepala daerah “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih“.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa jika penghitungan usia calon Kepala Daerah dibatasi maka terdapat potensi kerugian bagi warga negara atau partai politik untuk mengajukan diri ataupun mengusung calon kepala daerah yang baru akan mencapai usia 30 tahun bagi Gubernur/Wakil Gubernur dan 25 Tahun bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota pada saat telah melewati tahapan penetapan pasangan calon.

Selain itu, membatasi usia pencalonan usia 30 tahun bagi Kepala Daerah sejak penetapan pasangan calon tidak menggambarkan keseluruhan original intent yang terkandung dalam UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

“Bahkan memangkas original intent Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, terutama dalam mengakomodir kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara,” bunyi pertimbangan pada Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024.

Skandal Putusan 90 Terulang

Pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada Yance Arizona menilai bahwa putusan MA mengacaukan ketentuan terkait persyaratan pencalonan jabatan publik. Ia menduga putusan justru ini untuk mengakomodir seseorang untuk maju pada Pilkada serentak 2024.

“Seperti skandal Putusan MK 90/2023 yang digunakan untuk memberikan keistimewaan kepada Gibran maju sebagai calon wakil presiden,” ucap Yance saat dihubungi, Kamis, 30/5/2024.

Yance mencontohkan seperti pengadilan di Amerika Serikat, di mana pengadilan menghindari diri untuk terlibat dalam proses pengujian peraturan yang akan mengubah aturan baik pemilu ataupun pilkada. Hal ini, kata dia, dikenal dengan Purcell Principle.

“Seharusnya pengadilan membatasi diri untuk terlibat dalam proses politik elektoral karena hal ini akan membuat pengadilan menjadi alat dan bagian dari strategi politik elektoral kelompok tertentu,” katanya.

Menurutnya, jika ingin melakukan perubahan maka perubahan tersebut tidak diberlakukan pada tahapan yang sedang berlangsung. Melainkan, diterapkan untuk proses pemilihan selanjutnya.

Yance mencontohkan putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 soal penghapusan ambang batas parlemen sebesar 4 persen yang diajukan oleh Perludem. Pada putusannya, MK menyatakan ambang batas parlemen tetap berlaku pada Pemilu 2024, namun inkonstitusional pada Pemilu 2029.

Atas dasar putusan ini, Yance menilai bahwa publik akan semakin tidak percaya kepada lembaga peradilan terutama ketika menangani kasus-kasus yang berdimensi pada muatan politik dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan begitu, Yance menilai bahwa prinsip negara hukum di Indonesia semakin keropos karena pengadilan telah kehilangan independensi untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan.

“Bahkan lebih parah, pengadilan menjadi bagian dari skenario konsolidasi kekuasaan para pemimpin yang tidak memiliki komitmen kuat untuk pelembagaan demokrasi,” tuturnya.

Ketidakpastian Hukum

Sementara itu, Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai bahwa putusan MA akan menyebabkan ketidakpastian hukum pada pilkada.

Menurutnya, dalam tata kelola tahapan pilkada, seseorang berstatus sebagai calon bukan hanya saat pelantikan kepala daerah terpilih. Melainkan, status calon tersebut melekat jauh sebelum pelantikan, yaitu ketika KPU menetapkan seseorang sebagai pasangan calon.

“Jika merujuk putusan MA, maka akan ada ketidakpastian hukum sebab saat seseorang sebagai calon di masa kampanye, maka dirinya tidak memenuhi syarat usia yang telah ditentukan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016,” ucap Titi saat dihubungi, Kamis, 30/5.

Lebih lanjut, Titi mengatakan bahwa pada Pasal 1 angka 3 UU 8/2015 jelas mengatur bahwa calon Gubernur dan Wakil Gubernur adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau mendaftar di KPU Provinsi. Artinya, kata dia, sebagai peserta pilkada seseorang harus telah memenuhi syarat usia minimal tersebut.

“Peserta pemilihan di pilkada sudah berlangsung sejak seseorang ditetapkan sebagai pasangan calon, berkampanye, sampai dengan dilakukannya pengucapan sumpah dan janji calon terpilih,” katanya.

Ketika ditanyai terkait apakah putusan MA akan menguntungkan anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, dalam pilkada serentak, ia tidak mengiyakan ataupun membantah. Menurutnya, apabila tidak ada partai yang mengusung Kaesang maju pilkada, maka ia tetap tidak bisa mencalonkan pada pemilihan kepala daerah.

Pendapat senada juga dinyatakan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah. Menurutnya, putusan MA justru malah sebabkan ketidakpastian hukum. Apabila MA menetapkan batas usia minimal berlaku saat calon dilantik, ia lantas mempertanyakan pada UU Pilkada tidak terdapat ketentuan tersebut.

“Kalau pelantikan itu justru dilakukan, 2 bulan atau 3 kemudian bahkan atau 6 bulan kemudian, bukankah itu justru memberikan ketidakpastian hukum,” kata Herdiansyah saat dikonfirmasi, Kamis, 30/5.

Herdiansyah justru menduga bahwa kasus ini serupa seperti putusan MK 90/2023 yang memberikan karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

“Putusan MA semacam karpet merah bagi pencalonan Kaesang yang intensitas jelas ada upaya untuk melanggengkan kekuasaan,” lanjutnya.

Untuk diketahui, Kaesang saat ini berusia 29 tahun dan baru akan beranjak usia 30 tahun pada Desember mendatang, sementara tahapan pemilihan kepala daerah selesai dilaksanakan pada 27 November 2024. Jika Pasal 4 Ayat 1 huruf d aaturan PKPU 9/2020 masih berlaku, maka Kaesang tidak bisa berpartisipasi pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Dorong KY Periksa Hakim Agung

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong Komisi Yudisial untuk memeriksa tiga majelis hakim yang bertugas dalam memutus perkara uji materi PKPU 9/2020.

Perludem menilai bahwa MA telah mencampuradukkan antara syarat calon menjadi kepala daerah dengan syarat pelantikan calon kepala daerah.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, apabila menelisik ketentuan persyaratan sebagai calon kepala daerah, seharusnya aturan tersebut tidak dapat ditafsirkan berbeda makna dengan Pasal 7 huruf e UU 10/206 yang termasuk dalam syarat calon.

“Oleh karena itu, Perludem menilai bahwa MA telah gagal dalam menafsirkan ketentuan Pasal 7 huruf e yang mengatur syarat calon bukannya syarat pelantikan calon terpilih,” ucap wanita yang biasa dipanggil Ninis dalam keterangan tertulis, dikutip, Jumat, 31/5.

Apalagi, kata Ninis, UU Pilkada tidak mengenal persyaratan pelantikan bagi calon terpilih paska penetapan hasil oleh KPU. Ia menegaskan bahwa status calon terpilih hanya didapatkan oleh calon kepala daerah yang mendapatkan suara terbanyak setelah proses pemungutan suara dan telah ditetapkan KPU sebagai calon terpilih.

“Atas dasar penjelasan di atas, Perludem menilai KPU tidak dapat menindaklanjuti putusan ini karena sifatnya yang menyebabkan perubahan frasa pasal a quo menjadi bertentangan dengan ketentuan UU Pilkada,” tegasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi