Selasa, 22 Juli 2025
Menu

MK Putuskan Pasal Sebar Berita Bohong Inkonstitusional karena Batasi HAM

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa dua pasal yang mengatur soal penyebaran berita bohong atau hoax yang dapat menimbulkan keonaran dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana inkonstitusional.

MK berpandangan bahwa Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 merupakan pasal karet yang menyebabkan terjadinya multi tafsir. Apalagi, tidak ada parameter atau tolak ukur yang jelas dalam penerapan peraturan tersebut, sehingga berdampak dalam membatasi hak individu dalam kebebasan berpikir dan berpendapat.

Oleh karena itu, MK berpendapat jika ukuran atau parameter dalam mengeluarkan pendapat hanya memperbolehkan untuk menyampaikan sesuatu yang dianggap ‘benar’, baik di ranah umum atau pribadi, maka hal tersebut justru membatasi hak individu untuk berkreativitas dalam berpikir untuk mencari kebenaran.

Perkara Nomor 78/PUU-XXI/ 2023 didaftarkan oleh Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang melakukan uji materi terhadap Pasal 27 (3) dan 45 (3) UU 19/2016 (UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE), Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh para pemohon. Adapun gugatan yang dikabulkan ialah Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 310 ayat 1 KUHP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Sedangkan dua pasal dalam UU ITE, MK menyatakan uji materi telah kehilangan objek pasca DPR mengesahkan perubahan UU 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru pada awal 2024.

Untuk diketahui, Haris dan Fatia pernah didakwa dengan pasal-pasal tersebut karena dianggap telah mencemari nama baik Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Timur membebaskan mereka berdua dari seluruh dakwaan.

Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 kerap disalahgunakan untuk menjerat individu yang menyuarakan kritiknya kepada negara, hal ini menyebabkan hak berpendapat dan kebebasan berekspresi terancam aktualisasinya. Sehingga yang terjadi adalah penilaian subjektif dari negara yang berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan.

Dengan tidak adanya ketidakjelasan makna ‘keonaran’ dalam pasal tersebut, masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.

“Sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam membacakan pertimbangan.

Unsur ‘keonaran’ dalam pasal tersebut juga dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang berkembang pesat, di mana masyarakat memiliki akses yang luas dan mudah mendapat informasi melalui berbagai media.

Sehingga, dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik yang berkaitan dengan kebijakan publik merupakan dinamika demokrasi.

“Hal ini merupakan bentuk pengejawantahan dari partisipasi publik. Bukan serta-merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum,” lanjut Enny.

Maka dari itu, jika ada individu yang menyiarkan berita melalui media apa pun dan berita tersebut masih diragukan, sehingga menimbulkan perdebatan di ruang publik, Mahkamah berpendapat bahwa diskusi tersebut tidak serta merta menjadi bentuk keonaran yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 mengandung nilai ambiguitas karena tidak adanya ukuran atas ‘kebenaran’ sesuatu hal yang disampaikan masyarakat yang disebabkan adanya perbedaan ukuran yang dipergunakan untuk menjadi dasar pembenaran akan sesuatu hal yang disampaikan.

“Adanya ketidakjelasan tersebut dapat menjadi benih atau embrio bahwa seseorang yang menyampaikan sesuatu hal tersebut telah melakukan perbuatan yang berkaitan dengan penyampaian berita atau pemberitahuan bohong,” ucap Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Terlebih, jika seseorang akan menyampaikan pendapat akan ‘kebenaran’ atas hal yang disampaikan, hal ini sangat tergantung penilaian oleh subjek hukum yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, contohnya dari sudut pandang nilai-nilai agama, budaya dan sosial.

Dengan begitu, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi. Sebab pada hakikatnya, keputusan demokratis yang diambil oleh negara membutuhkan pendapat dan informasi dari warga negara.

“Negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong,” kata Arsul.

Dalam pertimbangannya, MK juga mengacu pada prinsip Sirakusa atau Siracusa Principles, prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang dan hanya bisa dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya ialah: diatur berdasarkan hukum; diperlukan dalam masyarakat demokratis; untuk melindungi ketertiban umum; untuk melindungi kesehatan publik.

Syarat lainnya ialah untuk melindungi moral publik; melindungi keamanan nasional; melindungi keselamatan publik; dan, melindungi hak dan kebebasan orang lain.

Selain itu, unsur berita bohong, kabar tidak pasti dan kabar berlebihan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dianggap Mahkamah mengandung norma pembatasan untuk mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik.

Sehingga, hal ini dapat berpotensi digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku yang menyebarkan berita bohong tanpa melihat secara jelas bahwa yang dilakukan ialah memberikan kritik konstruktif kepada negara.

“Seharusnya menjadi tugas negara untuk mempertimbangkan hal tersebut sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat atau kebebasan berekspresi, bukan justru yang ditekankan adalah penilaian terhadap adanya berita atau pemberitahuan bohong dan kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berlebihan dan menindak pelakunya untuk dikriminalisasi,” terang Arsul

Di samping membatalkan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946, MK juga menyatakan bahwa Pasal 310 UU tentang KUHP dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu dengan menambahkan frasa ‘dengan cara lisan’, sehingga pasal tersebut berbunyi:

“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Frasa ini sebelumnya sudah tercantum dalam UU KUHP yang baru yaitu pada Pasal 433 UU 1/2023, namun KUHP tersebut baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026).

Dengan begitu, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas.*

Laporan Syahrul Baihaqi