FORUM KEADILAN – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkapkan bahwa penyelenggaraan pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia sedang mengalami hambatan dikarenakan adanya kebijakan baru dari pemerintah setempat.
Hal ini dijelaskan oleh Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menjelaskan kebijakan tersebut menyangkut permohonan izin yang mesti disampaikan sejak tiga sampai enam bulan sebelum kegiatan.
Bila kegiatan tersebut dilaksanakan dalam premis negara lain, seperti KBRI, KJRI, Wisma Indonesia atau Sekolah Indonesia, izinnya tiga bulan sebelum kegiatan.
Dengan adanya kebijakan baru tersebut, KPU meminta bantuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia dapat tetap digelar.
Hasyim menyebut bahwa sebelumnya tidak ada peraturan, karena negara itu mempunyai kebijakan khusus terkait kegiatan politik negara lain yang digelar di Malaysia.
“Karena waktunya mepet, kami sudah melaporkan ke Presiden. Kami mohon bantuan fasilitasi supaya ada pembicaraan, katakanlah pada tingkat tinggi antara Presiden dengan Perdana Menteri Malaysia untuk meminta bantuan fasilitasi sehingga bisa digelar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur,” ujar Hasyim Asy’ari di Kantor KPU, Jakarta, Senin, 4/3/2024.
Kegiatan pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur dimulai dengan penyusunan dan penetapan daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN) yang dimulai sejak Senin, 26/2 sampai pada Jumat, 1/3.
Diketahui, KPU merencanakan PSU agar bisa dimulai sejak 9 Maret. PSU dilakukan bagi pemilih yang sebelumnya sudah mencoblos dengan metode pos, kotak suara keliling (KSK), dan tempat pemungutan suara luar negeri (TPSLN).
Pencoblosan metode KSK direncanakan akan digelar pada Sabtu 9/3/2024 mendatang, sedangkan untuk TPS akan dilaksanakan pada Minggu, 10/3. Jumlah pemilih di Kuala Lumpur untuk melakukan PSU mencapai 62.217 orang.
Hasyim menjelaskan angka tersebut diperoleh dari KPU dari total pemilih yang hadir di Kuala Lumpur lewat tiga metode pemungutan suara sebelumnya, dari tercatat pda daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), dan daftar pemilih khusus (DPK). Total pemilih untuk tiga metode yang tercatat dalam DPT, DPTb, dan DPK mencapai 78 ribu.
Lalu, angka 78 ribu menjadi basis data untuk pemutakhiran dengan tiga kategori, yaitu validitas alamat, analisi kegandaan, dan validitas nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor paspor.
“Setelah kita lakukan analisis, dari 78 ribu itu kemudian kita dapat menyimpulkan dan sudah kita tetapkan DPTLN untuk PSU Kuala Lumpur jumlahnya 62.217 pemilih,” ujarnya.
Diketahui, Tujuh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penambahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Penetapan tersangka tersebut dinilai sebagai bukti adanya kecolongan dalam pergelaran pemilu.
Sebagaimana diketahui, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, penetapan tujuh orang tersangka itu dilakukan penyidik usai melakukan gelar perkara pada Rabu (28/2) kemarin.
Pada gelar perkara tersebut ditemukan fakta bahwa dari Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) KPU RI untuk pemilih di Kuala Lumpur adalah sejumlah 493.856, dan yang telah dilakukan pencocokan dengan teliti oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) hanya sebanyak 64.148.
Tetapi, total Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang dicatat PPLN Kuala Lumpur justru berjumlah 491.152 pemilih.
Dari tujuh tersangka itu, enam diantaranya dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 545 dan/atau Pasal 544 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sementara sisanya dijerat Pasal 544.*