Meroketnya Suara PSI dan Lemahnya Sistem Pengawasan Rekapitulasi

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep | Instagram @kaesangp
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep | Instagram @kaesangp

FORUM KEADILANMelonjaknya suara PSI di real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipertanyakan. Lemahnya sistem pengawasan rekapitulasi memunculkan beragam dugaan kecurangan.

Real count KPU di Pileg 2024 saat ini sudah mencapai 65,80 persen. Dari jumlah tersebut, PSI mengantongi 3,13 persen suara. Perolehan suara yang melonjak tiba-tiba itu jauh dari hasil quick count (hitung cepat) berbagai lembaga survei.

Bacaan Lainnya

Catatan quick count lembaga survei Indikator Politik misalnya. Per Kamis, 15 Februari 2024, PSI hanya mendapatkan 2,8 persen suara secara nasional.

Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Chico Hakim menduga adanya praktik pengambilan suara dari partai lain.

Chico mengaku, dugaannya itu berangkat dari adanya intervensi secara brutal pada pemilu 2024 yang diduga melibatkan kekuasaan.

“Naiknya secara signifikan suara PSI dan turunnya suara PPP semakin menegaskan bahwa ada penggelembungan suara dengan mengambil suara dari partai lain,” kata Chico dalam keterangan tertulis yang diterima Forum Keadilan, Sabtu 2/3/2024.

Sementara itu, Peneliti dari lembaga survei Politika Research and Consulting (PRC) Miftahul Munir menilai, melambungnya suara PSI tidak lepas dari pengaruh Kaesang Pangarep yang duduk sebagai Ketua Umum PSI dan penggunaan simbol Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama pelaksanaan pemilu.

“Meroketnya suara PSI tidak lepas dari posisi ketua umum putra Jokowi. Penggunaan simbol Jokowi di berbagai media kampanye PSI mendongkrak elektoral PSI,” kata Munir kepada Forum Keadilan, Minggu 3/3.

Menurut Munir, PSI memang berpotensi lolos dari parliamentary threshold. Hal itu mengacu pada hasil quick count yang mencapai angka 2,8 persen.

Namun, jika ditambah dengan margin errornya, kata Munir, PSI bisa memperoleh 3,8 persen suara.

“Berdasarkan data quick count PRC, perolehan PSI di angka 2,8 persen. Jika ditambah margin error, maka potensi perolehan PSI di angka 3.8 persen. Potensi masuk PT cukup ada peluang,” ucapnya.

Munir enggan berbicara soal dugaan kecurangan di balik meroketnya suara PSI. Namun kata dia, jika memang ada kecurangan, kemungkinan dilakukan di tempat pemungutan suara (TPS) atau saat perhitungan suara di tingkat kecamatan.

“Jika memang ada kecurangan, mungkin dilakukan di tingkat TPS atau perhitungan di tingkat Panitia Pemilihan Kacamatan (PPK). Namun ini butuh bukti konkrit yang menguatkan praktik-praktik pengambilan suara di tingkatan tersebut,” terangnya.

Begitu juga dengan praktik jual beli suara, menurutnya tidak menutup kemungkinan PSI membeli suara dari partai lain agar mencapai angka 4 persen dan bisa melenggang ke Senayan. Tetapi, seperti yang ia tegaskan, dugaan seperti itu tentunya perlu dibuktikan.

“Kemungkinan bisa seperti itu, jika ada praktik jual beli suara yang biasanya terjadi di tingkat perhitungan PPK, yang selama ini umumnya terjadi praktik-praktik kecurangan,” ujarnya.

Munir juga tidak memungkiri bahwa Sistem Rekapitulasi (Sirekap) KPU memiliki persoalan. Khususnya soal hasil rekaman terhadap C Hasil yang tidak sama dengan angka di lembaran aslinya.

“Menurut pengamatan kami, Sirekap memang ada persoalan. Pembacaan di hasil scan pleno tidak sama dengan angka yang keluar di Sirekap. Errornya Sirekap tentu menciptakan persoalan bagi proses pengawasan perhitungan suara,” jelasnya.

Terlepas dari erornya Sirekap, Munir mendorong pihak berwenang untuk menindak semua laporan terkait dugaan adanya pelanggaran atau kecurangan selama pemilu. Bahkan kata dia, hasil pemilu tidak dipercaya apabila terbukti banyak kecurangan.

“Jika terbukti banyak terjadi kecurangan, tentu hasil pemilu ini tidak dapat dipercaya,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid