Dilema Makan Siang Gratis, Tujuan Bertentangan dengan Ketersediaan Anggaran

Calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka setelah pemungutan suara pada Rabu, 14/2/2024 malam | Instagram @fraksipartaigerindra
Presiden-Wakil Presiden Terpilih RI Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka setelah pemungutan suara pada Rabu, 14/2/2024 malam | Instagram @fraksipartaigerindra

FORUM KEADILANProgram Makan Siang dan Susu Gratis Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mulai dipersiapkan. Jika persiapan itu tak berpatok pada tujuan, melainkan ketersediaan anggaran, lebih baik tak direalisasikan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin Sidang Kabinet Paripurna bersama para menteri di Istana Negara, Senin 26/2/2024. Meskipun pasangan Prabowo-Gibran belum diresmikan sebagai pemenang Pilpres 2024, tetapi program unggulan mereka, makan siang dan susu gratis, sudah disinggung dalam rapat tersebut.

Bacaan Lainnya

Seperti yang disampaikan Prabowo pada masa kampanye, program tersebut akan diberikan kepada anak-anak dan Ibu hamil. Tujuannya, untuk mencegah stunting dan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dalam menyongsong Indonesia makmur.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kemungkinan akan ada 70,5 juta anak yang akan menjadi target program tersebut. Mereka terdiri dari 22,3 juta anak balita, 7,7 juta anak TK, 28 juta anak SD, dan 12,5 juta anak SMP hingga Madrasah.

Per satu anak diberi jatah makan Rp15 ribu di luar susu. Airlangga sendiri telah melakukan uji coba program makan gratis di SMP Negeri 2 Curug, Tangerang, Banten, Kamis 29/2/2024.

Dalam uji coba itu, disajikan empat menu seharga Rp15 ribu yang diklaim sudah memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayuran, dan buah.

Hitungan Menu Rp15 Ribu

Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra menjelaskan, memenuhi gizi anak dengan porsi Rp15 ribu bukan hal yang mustahil. Asal, keseimbangan menunya benar-benar diperhatikan.

“Jika Rp15 ribu itu diasumsikan satu piring nasi, maka satu piring itu harus memenuhi kadar gizi. Jadi, separuh dari piring itu berisi lauk-pauk, dan separuhnya sayur dan buah,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 28/2/2024.

Meskipun tak mustahil, Hermawan mengingatkan bahwa harga bahan pangan di tiap daerah itu berbeda. Artinya dengan dana Rp15 ribu, terpenuhi atau tidaknya gizi akan bergantung dari daerahnya.

“Kalau di Jakarta dengan bahan baku yang cukup tinggi harga pangannya, bisa jadi itu relatif. Tetapi kalau daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, atau di Banten dan lainnya itu bisa dirasa cukup,” ungkapnya.

Hermawan menegaskan, makan siang gratis bisa menjadi kampanye investasi manusia unggul, apabila pemerintah memperhatikan gizi yang seimbang. Namun sebaliknya, bisa menjadi bumerang jika tujuannya tidak tercapai karena besarnya uang yang dikeluarkan.

Sementara, CEO dan Pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih justru mempertanyakan bagaimana penghitungan jatah makan Rp15 ribu yang disebut Airlangga.

Diah berharap penghitungan itu diambil berdasarkan background informasi yang cukup, bahwa angka tersebut bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan gizi seorang anak guna mendapatkan asupan protein, lemak, karbohidrat yang seimbang.

“Jadi, pertimbangan menentukan angka Rp15 ribu itu adalah kebutuhan gizi dan kesehatan, bukan berdasarkan cukup atau tidak cukup uangnya,” ujar Diah kepada Forum Keadilan, Kamis 29/2/2024.

Ia melihat, dari apa yang disampaikan Prabowo-Gibran sejauh ini, program makan siang gratis didesain untuk tiga sasaran/skenario, yaitu makan siang khusus anak sekolah, makan siang untuk Ibu hamil, dan makan siang untuk balita. Dari tiga sasaran yang direncanakan, tentu kebutuhan gizi yang untuk masing-masingnya berbeda.

“Masing-masing kelompok memiliki acuan angka kecukupan gizi (AKG) yang berbeda dan perlu dikalkulasi dengan seksama. Pendekatan yang digunakan sebaiknya tidak bersifat one-size-fits-all (dipukul rata). Karena itu, anggaran untuk tiap menu makan siang perlu disesuaikan jumlahnya dengan kebutuhan yang berbeda,” jelasnya.

Diah menekankan, karena program makan siang dan susu gratis sebagai upaya perbaikan gizi, maka diperlukan juga prinsip pengendalian produk makanan yang membahayakan kesehatan anak. Makanan atau minuman yang akan dibagikan pada program ini, perlu diperhatikan kandungan gula, garam, dan lemaknya.

“Penelitian di Indonesia dan mancanegara menemukan salah satu penyebab masalah gizi termasuk stunting adalah konsumsi anak terhadap makanan yang tidak sehat. Saat ini di Indonesia banyak snack untuk anak yang tinggi lemak namun rendah protein, sehingga berkontribusi buruk pada kondisi gizi anak,” ungkapnya.

Selain itu, minuman dan makanan anak juga banyak yang mengandung gula berlebihan. Termasuk susu kemasan, berpotensi meningkatkan risiko diabetes tipe II dan obesitas di kemudian hari.

“Lalu, perlu juga diperhatikan kebersihan serta keamanan dari zat berbahaya lain saat proses pembuatannya. Kita harus belajar dari kasus kematian 23 anak di India ketika makan siang untuk siswa justru terkontaminasi pestisida,” imbuhnya.

Kemudian, agar makanan atau minuman yang dikonsumsi aman, diperlukan juga pendataan alergi bahan makanan yang dimiliki oleh setiap anak.

Oleh sebab itu, Diah menyarankan dalam menjalankan program makan siang gratis, pemerintah nantinya perlu mendengar masukan dari ahli gizi dan ahli kesehatan lainnya.

“Seperti program pemerintah pada umumnya, diperlukan perencanaan berbasis bukti serta evaluasi dan monitoring ketat terhadap implementasinya di lapangan,” ungkapnya.

Detail Perencanaan Belum Ada

Meskipun Airlangga Hartarto telah melakukan uji coba, tetapi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran mengaku bahwa belum ada perencanaan detail terkait program makan siang dan susu gratis.

Anggota Dewan Pakar TKN Drajad Wibowo mengatakan, baik penerapan ataupun mengenai dana untuk merealisasikan makan siang masih belum tertata jelas.

“Detail kebijakan belum dibahas,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 28/2.

Drajad juga menyebut bahwa dana Rp15 ribu yang disebut Airlangga hanya patokan dana awal saja.

“Iya baru patokan awal. Postur belanja negara 2025 saja belum selesai disusun. Belum ada pembahasan apapun sebenarnya. Angka itu juga hanya patokan awal,” imbuhnya.

Terkait hal ini, CISDI mendorong adanya kajian sistematis akan bukti potensi efektivitas dan kelayakan program makan siang gratis.

Diah memaparkan, sebelum menjalankan program makan gratis, pemerintah yang akan datang mesti merumuskan tujuan dan rincian program secara jelas. Termasuk sasaran penerima program.

Untuk sasaran siswa sekolah, baik itu berupa sarapan atau makan siang, bukti di negara lain menunjukkan tujuan utama programnya adalah untuk meningkatkan kemampuan belajar anak, bukan mengentaskan stunting.

Stunting pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh kondisi kesehatan ibu sebelum hamil hingga anak usia 2 tahun, sehingga bila fokusnya pada usia SD menjadi tidak sesuai. Apabila masih belum ada kejelasan antara tujuan dengan rincian program yang sesuai bukti, maka CISDI belum dapat mendukung program tersebut untuk diprioritaskan,” tegasnya.

Diah menekankan, penganggaran dan pembelanjaan terkait program makan siang gratis juga perlu dicermati dengan seksama.

“Anggaran untuk program ini sebaiknya tidak diprioritaskan melebihi anggaran program pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial lain yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan pembangunan manusia. CISDI, khawatir potensi terjadinya korupsi dalam proses implementasi program makan siang gratis,” tukasnya.

Bayang-Bayang Inflasi

Berbicara anggaran, makan siang gratis sempat disorot oleh Bank Dunia (World Bank). Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen berharap anggaran rencana program tersebut dipersiapkan dengan matang.

“Kami berharap Indonesia mematuhi batas defisit fiskal 3 persen dari PDB yang ditentukan dalam undang-undang dan juga mempertahankan stabilitas makro-ekonomi dan stabilitas fiskal,” ujarnya Rabu 28/2.

Sementara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa program makan siang gratis hanya solusi parsial di tengah banyaknya masalah ekonomi lainnya.

“Iya, kurang tepat. Memang idealnya untuk ketahanan pangan, termasuk subsidi pupuk, kemudian bantuan subsidi bunga untuk kredit pertanian itu harusnya lebih diprioritaskan untuk saat ini di bandingkan alokasi anggaran makan siang gratis,” katanya kepada Forum Keadilan, Rabu 28/2.

Kata dia, program makan siang gratis tidak menyasar seluruh komponen masyarakat, karena sebagian besar masyarakat akan tetap membeli kebutuhan pokok lainnya.

Masalah baru akan muncul, jika nantinya terjadi perebutan bahan pokok antara masyarakat dan penyedia program makan siang gratis.

“Yang terjadi nanti adalah inflasi dan ini akan menekan daya beli masyarakat yang sekarang saja sudah rentan,” sambungnya.

Bahkan, dirinya berpendapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa jebol jika benar program tersebut menelan biaya Rp400 triliun per tahun.

“Defisit bisa melebar bahkan di atas 3 persen. Jadi, lebih perlu memperbaiki masalah utama ekonomi. Seperti ketimpangan aset yang lebar, deindustrialisasi prematur dan ketergantungan yang dalam ke komoditas olahan primer,” jelasnya.

Namun, hal berbeda diungkapkan oleh pengamat ekonomi Institute For Development Of Economics And Finance (Indef) Eko Listiyanto. Menurutnya, APBN tidak akan jebol untuk menampung anggaran program makan siang gratis.

Hanya saja, mungkin defisit akan diperlebar menjadi 2,4-2,8 persen karena ada penambahan ide baru.

“Ini kan direncanakan di awal bukan tiba-tiba, berbeda ketika zaman Covid-19 yang tiba-tiba terjadi. Paling, defisit diperlebar jadi 2,4 sampai 2,8 persen saja. Kalau 2,8 persen itu enggak jebol, tapi tambah utang saja. Kalau jebol itu sudah enggak bisa bayar utang,” katanya kepada Forum Keadilan, Rabu 28/2/2024.

Eko juga mengatakan, jika anggaran yang akan disediakan nanti mencapai Rp400 triliun setiap tahun akan membuat ruang fiskal keuangan negara memburuk.

Kata Eko, jika tujuan program tersebut untuk memperbaiki SDM menuju Indonesia Emas 2045, maka lebih baik pemerintah langsung menyasar ke pendidikan yang layak.

“Sebagai gimik 2045 mungkin baik, tapi kalau soal anggaran menurut saya bukan makan siang gratis tapi langsung ke pendidikan saja. Eskalasi akan ditentukan keberhasilan, mungkin hanya untuk daerah 3T saja. Di daerah yang sudah maju mungkin tidak terima itu,” tutupnya.*

Pos terkait