Kuatkan Parlemen, Siapa Mau Masuk Koalisi Prabowo-Gibran?

Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Debat Kedua Calon Wakil Presiden (cawapres) Pemilu 2024, Di JCC Senayan, Jakarta, Jumat, 22/12/2023, Malam. | Youtube KPU RI
Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Debat Kedua Calon Wakil Presiden (cawapres) Pemilu 2024, Di JCC Senayan, Jakarta, Jumat, 22/12/2023, Malam. | Youtube KPU RI

FORUM KEADILAN – Pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul dalam perolehan suara sementara di Pilpres 2024.

Meskipun koalisinya besar, tetapi mereka tetap memerlukan dukungan partai di luar koalisi untuk memuluskan program-programnya di parlemen.

Bacaan Lainnya

Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menjelaskan, segala kebijakan lahir dari proses politik di parlemen. Jadi, kalau perwakilan partai politik (parpol) di parlemennya lemah, akan sulit bagi presiden terpilih untuk memuluskan program yang mereka buat.

Berdasarkan data penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 26 Februari, dari total suara terkumpul sebanyak 65.09 persen, Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai pengusung Prabowo-Gibran memiliki empat partai di parlemen. Mereka ialah Golkar (15,14%), Gerindra (13,39%), Demokrat (7,46%) dan juga PAN (7%).

Sementara itu, koalisi pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) memiliki tiga parpol yang berlaga di parlemen yaitu PKB (11,66%), NasDem (9,47%) dan PKS (7,54%). Sedangkan di koalisi pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD terdapat dua partai yang lolos ke parlemen, yaitu PDIP (16,51%) dan PPP (4,01%).

Dari data sementara itu terlihat, jika koalisi nomor urut 1 dan nomor urut 3 menjadi oposisi, mereka akan memiliki mayoritas suara di DPR. Untuk itu Cecep yakin, Prabowo-Gibran akan memperkuat suara koalisinya di parlemen. Jika tidak, akan sukar untuk menjalankan program-program mereka.

“Tentu saja amat sukar. Nanti ada kebijakan yang lahir dari eksekutif, perlu lobi-lobi ekstra untuk melahirkan kebijakan,” ucap Cecep kepada Forum Keadilan, Minggu 25/2/2024.

Soal partai apa saja yang berpotensi menyeberang ke koalisi Prabowo, Cecep menyebut bahwa semua partai yang tergabung dalam koalisi AMIN punya kemungkinan merapatkan barisan.

Ia memaparkan, PKB dan NasDem selalu berada di pemerintahan dalam kurun 10 tahun terakhir. Sedangkan PKS, ia menyebut masih fifty-fifty untuk bergabung ke koalisi Prabowo-Gibran. Tetapi Cecep juga menekankan bahwa dalam dua pilpres terakhir, PKS selalu mendukung Prabowo Subianto.

Sementara di kubu Ganjar-Mahfud, Cecep menyebut bahwa PDIP tidak mungkin bergabung karena retaknya hubungan Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Namun, PPP bisa saja bergabung.

“Harapan saya PPP tetap berada di luar pemerintahan dan tidak tergiur politik akomodasi,” katanya.

Dihubungi terpisah, Pengamat Politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin juga sependapat. Ia mengatakan, Prabowo perlu merangkul pihak yang kalah dalam pilpres sebagai bentuk strategi untuk memperkokoh posisi pemerintahan di parlemen.

Sebagai gantinya, jatah kursi menteri akan dibagikan kepada partai yang bergabung.

Ujang juga menyebut bahwa PPP, PKB dan NasDem berpeluang untuk menyeberang ke koalisi Prabowo. Sementara untuk PKS, ia mendengar bahwa ada lobi-lobi yang masuk. Namun dilihat dari rekam jejaknya, PKS memiliki kecenderungan oposisi di pemerintahan.

 

Siapa Mau Bergabung?

Sejalan dengan pernyataan Cecep dan Ujang, Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra Habiburokhman mengungkapkan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto membuka pintu komunikasi bagi partai politik lain untuk bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Sebagai pemegang perolehan suara tertinggi dalam penghitungan sementara, mereka akan mengadakan pertemuan dengan parpol di luar koalisi.

“Sebagaimana disampaikan Pak Prabowo bahwa politik kami merangkul, bukan memukul. Kami membuka komunikasi dengan berbagai pihak. Semoga dalam waktu dekat, ada pertemuan dengan ketua umum parpol di luar Koalisi KIM,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 26/2/2024.

Sebagaimana diketahui, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh beberapa waktu lalu sempat melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada pertemuan tersebut, Surya Paloh mengaku tidak ada ajakan dari Presiden Jokowi untuk bergabung ke KIM.

Saat disinggung soal pertemuan itu, Habib mengatakan, sebelum hari pencoblosan sebenarnya Prabowo dan Surya Paloh sudah pernah bertemu dan berbincang.

“Waktu itu kita sepakat untuk tidak sepakat. Dalam arti kata, sepakat untuk kebersamaan dan tidak sepakat bahwa kami masing-masing punya capres. Sekarang kontestasi sudah selesai, tidak sepakatnya sudah tidak ada, yang ada cuma sepakatnya. Saya lihat semangat Pak Surya Paloh juga sama mengenai pentingnya kebersamaan,” ungkap Habib.

Habib mengungkapkan, jika NasDem ingin bergabung, pihaknya siap untuk bekerja sama demi kepentingan bangsa.

“Kita berprasangka baik. Sekeras apapun kontestasi, tapi semua teman-teman kita hatinya merah putih. Demi kepentingan bangsa mereka siap bekerja sama,” ujarnya.

Sebaliknya, ketika dikonfirmasi apakah NasDem akan menyeberang ke pemerintahan atau tidak, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) NasDem Bidang Media dan Komunikasi Publik, Charles Meikyansah menyebut bahwa partainya masih dalam Koalisi Perubahan. Hal itu mengacu pada pertemuan Anies-Muhaimin dengan para ketua umum partai Koalisi Perubahan, yaitu NasDem, PKB, dan PKS di Wisma Nusantara, Jumat 23/2/2024.

“Masih di Koalisi Perubahan. Kalau ditanya ke mana arahnya, acuannya jelas Wisma Nusantara Jumat kemarin,” ucap Charles kepada Forum Keadilan, Senin 26/2.

Tetapi di satu sisi, Charles menilai bahwa politik sangat dinamis. Segala kemungkinan masih dapat terjadi. Dalam waktu dekat, kata Charles, Surya Paloh akan memberikan sikap partai untuk lima tahun ke depan.

“Minggu depan, Ketua Umum kami akan memberikan arahan penuh terhadap arah kebijakan politik NasDem 2024-2029,” terangnya.

Charles juga menegaskan bahwa sampai hari ini, partainya masih tergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan Jokowi. Maka apapun kebijakan yang dibuatnya, NasDem akan memberikan dukungan penuh.

“Bahwa kemudian bergabung atau tidak bergabung (dengan Koalisi Prabowo) semua masih dihitung,” lanjutnya.

Ketua DPP NasDem bidang Energi dan Mineral, Kurtubi, juga menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada perubahan sikap dari partainya. Mereka masih berdiri dengan cita-cita ingin melakukan gerakan perubahan.

“Apa yang diubah? Sesuatu yang tidak benar dan merugikan negara. Itu cita-cita NasDem,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 26/2.

Kurtubi berpandangan, masih banyak hal yang harus diperbaiki di pemerintahan Jokowi. Salah satunya ialah terkait kecurangan dalam pemilu. Ia menduga Presiden telah melakukan kegiatan yang melanggar konstitusi, tidak adil, menggunakan keuangan dan aparatur negara.

“Itu gambaran yang sangat jelas bagaimana pemerintahan sekarang ini tidak boleh dilanjutkan. Harus ada perubahan,” lanjutnya.

Meski begitu, Kurtubi juga menyatakan bahwa NasDem belum tentu ada di oposisi pada pemerintahan mendatang.

Lalu bagaimana dengan partai lain di kubu AMIN? Sama halnya dengan NasDem, sampai saat ini mereka belum menegaskan apakah tetap berdiri sebagai oposisi di Koalisi Perubahan atau merapat ke KIM.

Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB Luluk Nur Hamidah mengatakan, PKB belum ada rencana untuk memutuskan apakah akan menjadi oposisi ataupun berkoalisi dengan pemerintahan.

“Belum ada rencana ke arah sana, karena pemilunya belum selesai. Kalau misalnya kita akan mengambil pilihan sebagai oposisi justru itu menarik. Menarik karena kita tidak punya pengalaman itu. Tetapi, di sisi lain kita udah sangat siap sebagai pihak yang di luar,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Senin 26/2.

Luluk menyebut, meskipun PKB belum pernah berada di luar koalisi pemerintahan, bukan berarti PKB tidak mampu untuk berada dalam oposisi.

“Tidak pernah oposisi bukan berarti tidak bisa. Kenapa tidak pernah? Karena memang yang di dukung PKB itu selalu menang. Masa kemudian presiden yang kita usung menang, lalu PKB ambil oposisi. Itu kan aneh,” ungkapnya.

Luluk menuturkan, kemana nantinya PKB berlabuh akan bisa dilihat jika sudah ada penetapan dari KPU mengenai hasil pemilu. Tempat berlabuh PKB sendiri nantinya akan ditentukan oleh Ketua Umum Muhaimin Iskandar.

“Pemilu ini kita mengambil pilihan di luar pemerintahan, maka kami akan dukung 100 persen pilihan pimpinan kami. Intinya, kami PKB siap dengan komando Cak Imin, mau dibawa seperti apa. Opisisi ayo,” tegasnya.

PKS juga sama. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi mengatakan bahwa oposisi atau tidaknya PKS akan bergantung pada keputusan Majelis Syuro.

“Kita oposisi enggak oposisi juga diputuskannya nanti saat angkanya jelas, dan Majelis Syuro deh putuskan,” katanya di NasDem Tower, Jakarta, Kamis 22/2.

Sementara dari koalisi PDIP, PPP juga begitu. Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono mengatakan bahwa pihaknya saat ini masih fokus penghitungan suara. Mereka belum mengambil sikap untuk menentukan berdiri di pihak oposisi atau pemerintahan.

“Untuk sementara, saya (PPP) sedang berkonsetrasi untuk mengawasi perolehan suara. Nanti setelah selesai penghitungan baru mengambil sikap,” ucap Mardiono kepada Forum Keadilan, Senin 26/2.

 

Alasan Bergabung ke Pemerintahan

Ujang Komaruddin berpendapat, berdiri sebagai partai oposisi akan lebih sulit dibanding berdiri di gerbong pemerintahan. Jika bergabung ke pemerintahan, akan mendapat jabatan dan jaminan secara hukum. Sedangkan menjadi oposisi, lebih gampang dikerjai pemerintah.

“Menjadi oposisi itu menderita. Selain gampang dikerjai, lalu dicari-cari juga persoalan hukumnya,” terangnya.

Oleh karena itu, kata dia, partai yang menjadi oposisi tidak pernah bertahan lama dan bakal tergabung ke gerbong pemerintah.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Ketua Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Menurutnya, bukan rahasia umum kalau alasan bergabungnya partai politik ialah untuk pemenuhan hukum dan logistik partai.

“Ya walaupun tidak pernah diakui, tapi hampir pasti kepentingan parpol bergabung dengan penguasa itu diduga karena sumber pendanaan partai politik. Sampai sekarang, diakui atau tidak, masih lebih banyak logistik berasal dari sumber ilegal, dan antara lainnya adalah dari anggaran yang dikelola oleh kementerian,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Senin 26/2.

Kata Lucius, logistik partai politik ini berbagai macam bentuknya. Bisa berupa proyek, atau apapun yang bisa mendatangkan modal untuk parpol.

“Jadi dia ini memanfaatkan celah-celah yang bisa dimainkan, kemudian mendapatkan untung. Bisa jadi misalnya seperti kolaborasi dengan perusahaan dan pengusaha yang menjalankan program, lalu dari situ kemudian keuntungan itu bisa digarap oleh parpol dan dibagi diantara mereka,” imbuhnya.

Lucius juga mengatakan bahwa bergabungnya parpol dengan koalisi pemenang tidak terlepas dari tujuan setiap parpol untuk mengincar kekuasaan. Tentu dengan adanya tawaran-tawaran dari pemenang pilpres, akan menjadi kesempatan mereka untuk meraih kekuasaan itu.

“Tinggal bagaimana kemudian menyamakan pandangan dan persepsinya saja, dan itu saya kira pasti ada lobi-lobi sebelum menentukan kabinet,” ungkap Lucius.

Lucius menambahkan, satu-satunya komitmen yang bisa diwujudkan secara nyata di balik kerja sama yang akan dibangun oleh presiden dengan parpol ialah kompensasi kursi kabinet. Hal ini juga yang jadi alasan parpol lain ingin bergabung dengan koalisi pemerintahan.

“Saya kira kursi kabinet itu juga yang jadi kepentingan parpol ini, mereka menerima atau menolak tawaran untuk bergabung dengan koalisi di pemerintahan baru,” singgungnya.* (Tim FORUM KEADILAN)