Jelang PHPU, MK Harus Tingkatkan Kembali Kepercayaan Masyarakat

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) sedang berupaya untuk meningkatkan tingkat kepercayaan publik yang sempat merosot dalam beberapa waktu terakhir. Kepercayaan publik menjadi niscaya bagi MK yang segera menghadapi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Pada pembukaan sidang pleno, Ketua MK Suhartoyo menyebut, lembaganya sangat bergantung pada kepercayaan publik. Dalam negara demokrasi, katanya, supremasi hukum sangat bergantung pada ketaatan dan kesediaan warga negara untuk menerima serta melaksanakan setiap putusan pengadilan.
“Seluruh proses bisnis MK sesungguhnya berinti pada kepercayaan publik. Tanpa kepercayaan publik, MK tidak bisa bekerja dengan optimal. Rendahnya tingkat kepercayaan publik jelas persoalan serius,” ucap Suhartoyo, Rabu, 10/1/2024.
Selain itu, Mahkamah juga telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kembali public trust, seperti mendatangi sejumlah media untuk menjemput masukan dan kritik yang konstruktif serta membentuk Majelis Kehormatan MK secara permanen pada Rabu, 20/12/2023.
“Kami telah melakukan berbagai langkah penting untuk meningkatkan public trust. Terlebih, kami menyadari sepenuhnya akan menghadapi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang sudah di depan mata. Pemulihan kepercayaan publik merupakan keniscayaan,” terangnya.
Kepercayaan publik terhadap MK merosot drastis pasca putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 atas uji materi Pasal 169 huruf q tentang Undang-Undang (UU) Pemilu yang mengatur batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini dikritik publik karena memberikan karpet merah kepada putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk melaju sebagai cawapres.
Berdasarkan survei nasional yang diselenggarakan Populi Center periode 29 Oktober hingga 5 November 2023, Mahkamah Konstitusi termasuk sebagai salah satu lembaga negara dengan tingkat kepercayaan terendah dengan presentasi 54,8 persen. Angka ini turun sebesar 10 persen dari 64,1 persen pada September sebelum putusan 90/2023 MK dibacakan.
Sementara itu berdasarkan hasil survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies pada Desember lalu, tingkat kepercayaan publik pada MK berada pada angka 67,3. Survei ini dilakukan sejak 13 sampai 18 Desember 2023.
Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa menilai tingkat kepercayaan publik kepada MK sempat tergerus pasca putusan Nomor 90/2023. Namun, ia berpendapat bahwa hal ini juga dapat dilihat dari pengajuan permohonan yang masuk kepada lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Menurut Viktor, jumlah perkara yang masuk pasca putusan 90/2023 dan juga putusan 141/2023 tidak mengalami penurunan. Di akhir tahun kemarin, kata dia, terdapat beberapa perkara yang sudah terdaftar, namun belum sempat disidangkan, sedangkan pada awal 2024, terdapat 12 perkara yang diajukan ke MK.
“Artinya, dengan banyaknya permohonan yang masuk ke MK menandakan bahwa masyarakat masih percaya kepada MK untuk mendapatkan keadilan,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Kamis, 11/1.
Meski begitu, Viktor menggarisbawahi bahwa MK tidak boleh lalai dalam menjaga kepercayaan publik. Apalagi MK dalam waktu dekat akan menangani sengketa pilpres dan pemilu.
“Hal ini sangat penting karena mengingat MK menjadi saluran terakhir penanganan perkara PHPU, sehingga apabila masyarakat tidak mempercayai putusannya, tentunya dapat menimbulkan gejolak besar pasca putusan MK dari para pendukung yang dikalahkan oleh MK nanti,” terangnya.
Viktor pun percaya dengan tidak dilibatkannya eks Ketua MK Anwar Usman dalam PHPU pilpres dan juga Hakim MK terpilih Arsul Sani pada PHPU Pileg dapat mengakselerasikan kepercayaan publik pada lembaga penjaga konstitusi.
Bercermin pada MK Periode Pertama
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai apabila MK benar-benar serius ingin memperbaiki marwah konstitusi, maka para Hakim yang menjabat harus berkaca pada MK periode pertama. Selama ini, kata dia, hal yang kerap menjadi sorotan publik ialah kapasitas Hakim Konstitusi dan juga putusannya.
“Harus diakui bahwa hakim punya masalah serius. Bagaimanapun, sebagian hakim kalau mau dihadapkan pada periode pertama, kualitasnya masih jauh dan itu bisa terbaca dari putusan-putusannya,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Kamis, 11/1.
Apalagi, kata Feri, putusan MK tidak mencerminkan pada kehendak konstitusi dan masyarakat pencari keadilan. Ia berpandangan jika MK telah berjarak dengan publik dan lebih memilih mendekatkan diri pada keputusan politik.
“Di sana masalahnya, kalau MK mau memperbaiki ya mudah saja, mendekat dengan kebutuhan masyarakat dan menegakan isi konstitusi,” ungkapnya.
Selain itu, Feri berpandangan bahwa MK harus mulai memperbaiki dari hal pelayanan administratif yang berhubungan dengan publik. Contohnya, kata dia, seperti pendaftaran dan kecepatan penanganan perkara.
Menurut Feri, layanan yang berkaitan dengan masyarakat perlu dimaksimalkan karena hal tersebut menjadi ciri khas MK.
Putusan Kontroversial
Sepanjang tahun 2023, setidaknya terdapat 65 UU yang dimohonkan pengujian kepada MK. Dalam laporan akhir tahun MK, UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu paling sering diuji, yaitu sebanyak 42 kali, UU Cipta Kerja 11 kali, UU 8/1981 tentang KUHAP 7 kali, dan KUHP sebanyak 6 kali.
Tercatat pada 2023, sebanyak 183 perkara teregistrasi. Dari jumlah tersebut, 136 perkara berhasil diputus.
Di antara perkara yang sudah diputus, 13 di antaranya dikabulkan, 57 perkara ditolak, 41 tidak diterima dan 25 perkara ditarik kembali.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menyebut, terdapat dua putusan MK yang mendapat sorotan publik, yaitu putusan 90 tentang batas usia capres-cawapres dan juga putusan 112 terkait masa jabatan pimpinan KPK.
Pria yang akrab disapa Castro menilai, dua putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka di mana Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili putusan tersebut, melainkan pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah.
“Itu kewenangan pembentuk UU. Tapi MK overlapping kewenangan dengan memutus perkara itu,” ucap Castro kepada Forum Keadilan, Kamis, 11/1.
Castro menilai, tingkat kepercayaan publik kepada MK menurun drastis ketika perkara 90 diputus. Sejak saat itu lah, sambungnya, MK kehilangan public trust.
“Karena itu, MK seperti memulai dari nol lagi untuk membangun kinerja baik agar sedikit demi sedikit bisa mengembalikan kepercayaan publik tersebut,” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi