Pengamat: Kalau Anwar Usman Bersalah, Cap Dinasti Politik Melekat pada Gibran

Ilustrasi Ketua MK Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden Jokowi
Ilustrasi Ketua MK Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden Jokowi | Renaldi Suwanto/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti mengaku tidak bisa memprediksi keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap dugaan pelanggaran etik Anwar Usman dkk.

Ray hanya menjelaskan jika menilik dari pernyataan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie keputusan nanti bisa diharapkan objektif.

Bacaan Lainnya

“Ya kita nggak tau kondisi bagaimana ya, tapi kalau dari pernyataan ketua MKMK sinyal kuatnya adalah ada dugaan pelanggaran kode etik itu, ya itu bisa menjadi fokus, tapi kepastiannya tidak tahu. Cuma kalau dilihat dari berbagai pernyataan-pernyataan Jimly, rasanya akan ada putusan yang lebih objektif lah terhadap peristiwa MK ini,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa, 7/11/2023.

Akan tetapi jika keputusan MKMK membuktikan ada pelanggaran etik terhadap deretan hakim yang memengaruhi keputusan MK. Ray menegaskan, hal tersebut pasti bakal berimbas kepada citra dari salah satu bakal calon wakil presiden (cawapres) yakni, Gibran Rakabuming Raka.

Diketahui, Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi). Artinya, paman dari Gibran, yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi.

“Ini pakai asumsi ya tentunya, kalau memang nanti ada terbukti keputusan itu dibuat dalam penuh nuansa nepotisme begitu, ya secara langsung akan ada efek negatifnya ke Gibran itu,” jelasnya.

“Itu kan makin menguatkan namanya apa yang jadi cap Gibran sekarang sebagai dinasti politik, yang jelas itu akan berimplikasi di tengah makin meningginya publik menyatakan menolak dinasti,” ucapnya.

“Kedua, makin banyak orang yang paham bahwa apa yang terjadi dengan Gibran, MK, dan Jokowi itu merupakan bagian dari politik dinasti. Lalu kemudian ada keputusan ini tentu akan menambah citra negatif Gibran,” sambungnya.

Sementara itu, jika pun keputusan MKMK membuktikan tidak ada pelanggaran etik, Ray merasa tidak akan ada perlawanan dari lawan politik. Namun, kata Ray, cap dinasti politik yang melekat pada Gibran akan dijadikan amunisi tambahan untuk menggaet suara.

“Saya kita kalau soal lawan-lawan politik pasangan capres-cawapres, mereka tidak akan melakukan apa-apa. Jadi mereka akan tetap, kalau misalnya keputusan MK itu tidak sampai ke substansi perkara, substansi putusan ya mereka akan terima saja. Cuma ini kan jelas akan menambah amunisi mereka untuk membuat citra Gibran makin negatif,” tegasnya.

Kendati begitu, Ray tidak bisa memastikan apakah pinangan Prabowo terhadap Gibran adalah sebuah kerugian yang harus diterima oleh Ketum Partai Gerindra tersebut.

Pasalnya, Ray menjelaskan, untung dan rugi meminang Gibran pasti sudah diperhitungkan.

“Saya tidak bisa mengatakan ada rugi (Prabowo menggaet Gibran), tapi saya akan sebut dengan belum terlihat efek Gibran terhadap elektabilitas Prabowo,” ujarnya.

Namun sayang, alih-alih meningkatkan elektabilitas, Ray berpendapat saat ini kepercayaan masyarakat justru memiliki kecenderungan menurun.

“Saya tidak bisa menyebut itu rugi atau apa, tapi itu terserah Prabowo saja ya, tapi saya menggantinya dengan istilah belum terlihat efek kenaikan elektabilitas setelah gibran dipinang oleh Prabowo, alih-alih naik yang ada kecenderungannya justru menurun,” ungkapnya.

Meski begitu, Ray tidak mengetahui mengapa tidak ada efek Gibran terhadap Prabowo.

“Yang jelas makin banyak orang yang sadar bahwa dinasti politik itu berbahaya bagi demokrasi, nah kalau mereka bisa melihat peristiwa antara putusan MK, Presiden Jokowi, dan Gibran sendiri orang semakin sadar bahwa ada status skenario dinasti yang sedang bekerja,” katanya.

“Nah itu yang akan membuat orang menahan diri untuk memilih Gibran, nah sedangkan pemilih Gibran pun saat ini beralih ke Anies dan Ganjar. Jadi lagi-lagi faktornya itu soal cap dinasti itu,” pungkasnya.*

Laporan Novia Suhari