FORUM KEADILAN – Direktur Eksekutif Parameter Indonesia Adi Prayitno mengatakan, dipilihnya Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto merupakan drama politik yang sudah dipersiapkan sejak lama.
Hal tersebut bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan batas usia minimal capres-cawapres di angka 40 tahun, tapi dengan pengecualian sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah. Lalu, MK juga menolak gugatan usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun. Rentetan putusan MK tersebut seakan memuluskan langkah politik Prabowo-Gibran melenggang di Pilpres 2024.
“Saya termasuk yang meyakini bahwa desain atau rencana untuk memajukan Gibran di 2024 itu terjadi secara sistematis dan cukup lama. Ini bukan kebetulan tapi dilakukan secara hati-hati,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin, 23/10/2023.
Adi melanjutkan, jika ditelisik rencana tersebut sudah terjadi sejak lama. Seperti munculnya baliho serta billboard di beberapa ruas jalan yang memperlihatkan Prabowo dan Gibran. Kedekatan Gibran dan Prabowo juga dinilai menjadi sinyal kuat bahwa kubu Ketua Umum Gerindra itu sudah menimbang-nimbang Gibran menjadi cawapresnya.
“Relawan Gibran juga mendukung duet Prabowo-Gibran dan seterusnya. Itu kan menjadi satu sinyal dan itu sudah terjadi sudah lama, termasuk relawan Jokowi yang secara terang-terangan mendukung duet tersebut. Itu menjadi satu sinyal yang cukup vulgar. Tapi publik seakan-akan terkecoh dan nggak akan masuk akal jika Gibran maju karena Gibran kader PDIP, yang notabene satu barisan dengan Ganjar (Pranowo) yang sudah diputuskan jadi capres,” lanjut Adi.
Setelah putusan MK, kata Adi, publik semakin yakin bahwa pertempuran harga diri PDIP dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin terlihat jelas. Memilih Gibran, seakan menjadi jalan satu-satunya bagi Prabowo untuk memenangkan Pilpres.
“Seakan-akan rumus untuk memenangkan Prabowo di Pilpres 2024 oleh pendukungnya ya the one and only dengan menjadikan Gibran sebagai wakilnya. Efek dari ini semua, ya tentu persaingan jauh lebih panas, terbuka, dan agresif dibanding dengan 2019. Panas dan keras ini bukan soal kalah dan menang tapi soal harga diri. Ya harga diri PDIP, dan harga diri Jokowi yang menantang secara terbuka PDIP,” tegasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor R Siti Zuhro.
Zuhro berpandangan bahwa dalam pemilihan presiden tidak ada yang sifatnya tiba-tiba atau spontan. Semua aktivitas dan komunikasi yang dilakukan oleh elit politik sebelumnya menimbulkan kecenderungan atau arah terbentuknya pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran.
“Artinya, terbentuk paslon Prabowo-Gibran ini bukan kebetulan. Persiapan sudah dilakukan sedemikian rupa,” ujarnya kepada Forum Keadilan.
Meski Zuhro tidak mengetahui alasan pasti kenapa partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM) setuju dengan keputusan mengusung Gibran, tapi kata dia politik di Indonesia identik dengan tindakan ‘menghalalkan segala cara’.
“Pemilu masih diterjemahkan sangat sempit. Sing pokoke berkuasa sing penting menang meskipun harus menghalalkan semua cara,” tegasnya.
Di kesempatan lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra Ahmad Muzani menepis kabar yang menyebut rusaknya hubungan antara Gerindra dan PDIP setelah diusungnya Gibran sebagai cawapres Prabowo. Sebab, Gibran hingga saat ini masih berstatus kader PDIP.
“Bagus. Hubungannya (Gerindra dengan PDIP) bagus, baik, akrab dalam suasana kekeluargaan yang baik dan mantap,” sebutnya saat memberikan keterangan pada awak media di DPP Gerindra, Senin, 23/10.*
Laporan Merinda Faradianti