Revisi UU Peradilan Militer, Dinilai Gimik Tim Percepatan Reformasi Hukum

Tim percepatan reformasi hukum
Tim percepatan reformasi hukum | Ist

FORUM KEADILAN – 14 September lalu, Tim Percepatan Reformasi Hukum yang diusung Menko Polhukam Mahfud MD memberikan hasil rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Hasil rekomendasi tersebut sebanyak 150 rekomendasi yang terbagi dalam jangka pendek dan menengah.

Bacaan Lainnya

Pada kelompok kerja (pokja) Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum, terdapat beberapa usulan seperti rekomendasi revisi UU KPK, UU Narkotika, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan revisi UU Peradilan Militer.

Anggota pokja Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum, Rifqi Sjarief Assegaf mengungkapkan masuknya revisi UU Peradilan Militer sebagai rekomendasi atas analisis dan masukan yang dihimpun baik dari kementerian, lembaga, masyarakat sipil dan juga pandangan para anggota tim.

Rekomendasi peradilan militer, kata dia, dalam arti menjadikan TNI yang melakukan pidana umum untuk diadili di peradilan umum sebagaimana diamanatkan dalam UU 34/2004 tentang TNI pasal 65 jo 74.

Meski begitu, Rifqi tidak menjamin setiap rekomendasi yang diusulkan akan diterapkan. Hal ini kembali pada arahan Presiden yang menyebut untuk menentukan rekomendasi prioritas yang dapat dilakukan dalam waktu satu tahun ke depan.

Menurutnya, revisi UU Peradilan Militer membutuhkan waktu yang tidak cepat. Apalagi, kata dia, sisa waktu pemerintahan saat ini kurang dari satu tahun.

“Menyadari bahwa waktu tersisa pemerintahan saat ini hanya kurang dari satu tahun, perlu dilakukan pemerioritasan. Tim Percepatan sendiri tidak menganggap revisi UU Peradilan Militer sesuatu yang urgen, dibandingkan dengan agenda-agenda lain. Namun tentu pemerintah dapat saja memberikan penilaian yang berbeda,” ucapnya saat dihubungi Forum Keadilan, Selasa, 26/9/23.

Dihubungi terpisah, Kababinkum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro menyatakan TNI akan mendukung reformasi peradilan militer kalau itu merupakan politik hukum negara. Namun begitu, kata dia, hasil laporan Tim Percepatan Reformasi Hukum ini masih berupa rekomendasi.

“Itu baru rekomendasi, ya kan belum jadi ketentuan, belum jadi aturan dan peraturan. Rekomendasi bisa dijalankan, bisa tidak dijalankan. Kemudian kapan bisa dijalankan masih membutuhkan waktu,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Selasa, 26/9/2023.

Kosmetik dalam Menutupi Kegagalan Pemerintah di Bidang Hukum dan Peradilan

Dalam laporan berjudul Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum, revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer masuk dalam rekomendasi jangka menengah.

Revisi ini dimasukkan dalam Prolegnas 2025 yang mana hanya mengatur pembatasan kewenangan pengadilan militer untuk mengatur kasus-kasus pidana militer murni, atau setidaknya, tetap dapat mengadili tindak pidana umum kecuali korupsi, kekerasan atau tindak pidana lain dengan ancaman hukuman maksimum di atas 10 tahun.

Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengungkapkan bahwa untuk menyentuh akar masalah dari peradilan militer harus dimulai dari revisi UU Nomor 31 Tahun 1997. Hal ini, kata dia, tidak bisa dilakukan secara parsial.

Selain itu, Gufron menyebut jika yuridiski soal kewenangan hanya salah satu permasalahan yang ada di undang-undang Peradilan Militer.

“Permasalahan yang lain itu ada pada prinsip-prinsip, mekanisme dan soal keadilannya,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Selasa, 26/9/2023.

Di sisi lain, dirinya tidak menaruh harapan banyak terhadap langkah yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, kalau rekomendasi tidak berjalan hanya sebatas simbolis belaka.

“Misalnya serius dan berkomintmen untuk mereformasi peradilan militer, saya kira diajukan naskah RUU tersebut. Kalau tidak ya simbolis saja,” tuturnya.

Senada dengan Gufron, Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani mengkritisi Tim Percepatan Reformasi Hukum yang digagas Mahfud MD. Menurutnya, tim ini ibarat kosmetik untuk menutupi kegagalan pemerintah di bidang hukum dan peradilan.

“Namanya kosmetik itu sementara dan sia-sia. Kosmetik untuk mempercantik saja, sehabis cuci muka juga hilang,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Minggu, 24/9/2023.

Apalagi, kata Julis, Mahfud MD dikenal sebagai dengan pribadi yang omong besar dan menciptakan banyak gimik-gimik politik.

“Jadi tidak ada yang baru, bahkan tetap dengan perspektif kekuasaan, bukan perspektif akar rumput apalagi perspektif masyarakat sipil,” ucap Julius.

Julius menggarisbawahi bahwa sistem peradilian militer belum pernah direformasi sejak 27 tahun lamanya. Menurutnya, Tim Percepatan Reformasi hanya bermain politik belaka.

Dia menyebut bahwa tim ini tidak berfokus untuk membenahi sistem atau pula membenahi kebijakan. Namun, kata dia, hanya melakukan sebatas gimik kebijakan reformasi.

“Mempercayai reformasi hukum dan peradilan lewat tim percepatan di bawah Mahfud MD sama saja mempercayai cerita pembunuhan Brigadir Yosua versi Ferdy Sambo,” tutupnya.*

 

Laporan Syahrul Baihaqi