Munir dan 19 Tahun Penantian Keadilan

Munir Said Thalib
Munir Said Thalib | ist

FORUM KEADILAN – Pada 7 September 2004, Indonesia kehilangan salah satu pahlawan hak asasi manusia terkemuka, Munir Said Thalib.

Munir meninggal pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda dari Jakarta ke Amsterdam. Otopsi menyatakan bahwa ia diracuni dengan arsenik.

Meskipun telah 19 tahun berlalu sejak kematiannya, banyak pertanyaan dan ketidakpastian masih mengelilingi kasus ini.

Kematian Munir, seorang aktivis yang berani dan tegas dalam mengekspos pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Kematian Munir menjadi bukti bahwa tantangan melawan ketidakadilan dan korupsi masih menjadi pekerjaan besar yang harus dihadapi oleh masyarakat sipil dan pemerintah Indonesia.

Meski seorang perwira intelijen Indonesia sekaligus pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan, dan Sekretaris Chief Pilot PT Garuda Indonesia Rohainil Aini kala itu, dihukum karena terlibat dalam pembunuhan Munir, namun banyak yang meragukan apakah keadilan sebenarnya telah terpenuhi dalam kasus ini.

Sebab, banyak yang percaya bahwa masih ada aktor lain di balik layar yang terlibat dalam konspirasi ini. Banyak yang percaya bahwa kasus Munir ialah bagian dari rangkaian tindakan yang melibatkan aparat keamanan dan badan intelijen Indonesia (BIN).

Sebelumnya Deputi V BIN Muchdi Purwopranjono diduga terlibat, namun majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberi vonis bebas dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung.

Lalu, pertanyaan utama yang belum terjawab adalah motif apa yang mendorong pembunuhan Munir. Sebagai seorang pengkritik pemerintah dan korporasi besar, Munir memiliki banyak musuh, namun mengapa ia menjadi target pembunuhan tetap menjadi tanda tanya besar.

Upaya terus menerus untuk memperjuangkan keadilan dan mengungkap kebenaran masih berlanjut. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

“Yang sekarang kita dorong ini menempatkan kasus Munir bukan lagi tindak pidana biasa seperti yang ada di hukum pidana, melainkan tindak pidana luar biasa yaitu pelanggaran HAM berat,” tutur Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan bahwa pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkup Peradilan Umum. Pengadilan ini bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pada Pasal 9 UU 26/2000 disebutkan, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: pembunuhan; penyiksaan; penghilangan orang secara paksa; dan lain-lain.

Menurut Usman, ada beberapa alasan mengapa pembunuhan Munir harus segera ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Menempatkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat atau kejahatan kemanusiaan maka tidak lagi mengenal kadaluarsa. Ia juga tidak mengenal asas ne bis in idem,” ujarnya kepada wartawan.

Asas ne bis in idem merupakan salah satu asas dalam sistem hukum Indonesia, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perkara yang sama tidak boleh diadili untuk kedua kalinya. Menurut Usman, tidak ada lagi hambatan yang bisa menjerat pelaku meskipun pelaku tersebut pernah diadili dan divonis bersalah.

Ketika kasus Munir ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat pelaku yang divonis bersalah juga tidak bisa mendapatkan pengampunan dan selain itu juga tidak lagi mengenal alasan penahapan bagi yang melakukan hanya karena perintah atasan (no superior order).

Usman juga mengkritik Komnas HAM dalam pengusutan kasus Munir yang seharusnya informasi diberikan kepada keluarga korban secara berkala dan kepada masyarakat melalui media massa. Sementara Komnas HAM berpegang pada Peraturan Komnas HAM bahwa mereka tidak bisa menyebarkan nama-nama tersebut ke publik dengan alasan menjaga kerahasiaan.

“Jadi saya kira ada pemahaman yang berbeda di antara kami tentang aspek transparansi itu, karena UU Hukum Pidana, UU Pengadilan HAM, dan UU HAM mewajibkan ada keterbukaan antara proses hukum,” ucapnya.

Suciwati, istri Munir, menyebut Komnas HAM kehilangan taringnya. Kata dia, Munir yang sangat vokal menyuarakan hak asasi manusia membutuhkan waktu lebih dari 19 tahun untuk kasusnya ditentukan sebagai pelanggaran HAM berat.

“Komnas HAM tidak perlu harus diminta kalau mengerti tupoksinya. Ini aneh, hari ini katanya sudah dibentuk tim pro yustisia, apa kabarnya?” ucapnya.

Selain itu Suciwati juga menggarisbawahi bahwa selama ini penjahat HAM yang diadili di pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc masih dapat melenggang bebas dikarenakan hakim dan jaksa sudah diatur untuk menggagalkan kasus pelanggaran HAM berat.

“Tugas kita adalah membangunkan yang namanya Presiden dan lembaga seperti Komnas HAM yang selama ini saya lihat masih banyak kasus pelanggaran HAM berat yang diabaikan. Belum ada satu pun yang dibawa ke pengadilan dan dihukum dengan berkeadilan,” tuturnya.

Komnas HAM Gagal Usut Kasus Munir

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menyebut, Komnas HAM telah gagal dalam mengusut dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus Munir.

“Komnas HAM hari ini saya tetapkan gagal dalam melakukan bentuk-bentuk penuntasan pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk kasus Munir,” ujar Dimas..

Menurut Dimas, kasus Munir menunjukkan perlindungan, penghormatan, dan juga penegakkan HAM masih jauh dari kata tuntas.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan mengungkapkan kasus pembunuhan Munir sudah masuk dalam tahap penyelidikan. Dia menuturkan bahwa tim Ad Hoc yang berisi dari internal dan eksternal sudah dibentuk untuk mengusut kasus ini.

Ketika ditanya wartawan siapa saja nama-nama yang terlibat, Hari tidak menjawab secara rinci.

“Kasus Munir kita menganggap harus segera diselesaikan dan tidak berlarut-larut karena ini memang untuk keadilan korban dan juga kepastian bagi para pembela HAM,” tuturnya,

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah yang juga menegaskan bahwa tidak ada pihak yang mampu mengintervensi Komnas HAM dalam mengusut kasus kematian Munir. Menurutnya, Komnas HAM akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengusut kasus ini dengan proses yang akuntabel.

“Tidak ada satu pihak mana pun yang bisa menekan kami, menghalang-halangi kami untuk mengungkap suatu kebenaran, sehingga jangan khawatir bahwa ada sedikit pun ketakutan pada diri kami untuk mengungkap proses penyelidikan dengan sesungguh-sungguhnya,” ucapnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi