Sabtu, 05 Juli 2025
Menu

Biang Kerok Arogansi TNI yang Terus Berulang

Redaksi
Ilustrasi penganiayaan
Ilustrasi penganiayaan | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Kembali munculnya tindakan tak manusiawi dari seorang oknum TNI menimbulkan pertanyaan besar terkait pengelolaan dan pengawasan di dalamnya.

Tindakan penganiayaan oleh aparat militer kepada masyarakat hingga tewas itu tak lepas dari kontrol arogansi.

Seharusnya TNI bisa memilih mana yang diberikan sikap tegas, mana yang manusiawi. Kepada masyarakat sipil biasa, seharusnya tidak perlu bersikap keras hingga menghilangkan nyawa.

Baik kasus penganiayaan terhadap warga Aceh berinisial IM (25) maupun kasus tabrak dan buang jenazah warga di Nagreg yang dilakukan oleh oknum TNI ialah suatu bentuk kejahatan kejam, keji serta tidak berperikemanusiaan.

Peristiwa berulang ini seolah memperlihatkan sikap aparat militer yang tidak pada tempatnya ketika menempatkan posisi mereka dalam menghilangkan nyawa orang lain.

Sepakat, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut, kendati militer merupakan salah satu kekuatan negara, namun sejatinya kekuasaan tersebut sering disalahgunakan.

“Jadi jika kita mendengar ada tentara melakukan pelanggaran hukum atau terlibat kejahatan misalnya, ya biasa dan wajar saja. Baru menjadi tidak wajar, apabila hal itu ditutupi, dibiarkan, diingkari atau malah dianggap tidak terjadi oleh institusinya,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Senin, 28/8/2023.

Tindakan yang dilakukan sejumlah oknum TNI itu bukan lah sekadar sikap keangkuhan perorangan atau kelompok. Hal tersebut dinilai Khairul sebagai sebuah tindak pidana dan sangat jelas melawan hukum.

Khairul pun menyebut hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor.

“Menurut saya, ini terjadi karena berbagai faktor, seperti kondisi mental psikologis sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Memang, kondisi mental psikologis setiap prajurit selepas pendidikan memang tidak bisa disamaratakan. Namun lingkungan kedinasan, pergaulan termasuk juga pengasuhan senior dan intensitas pengawasan dianggap Khairul sangat berpengaruh pada peluang prajurit melakukan perbuatan tercela.

Khairul mengungkapkan agar kasus serupa tak terulang kembali di masa depan, harus ada upaya serius untuk meningkatkan integritas moral dan disiplin prajurit. Termasuk juga keteladanan pimpinan.

Sementara, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda (Laksda) Julius Widjojono menegaskan bahwa kasus kekerasan oknum TNI itu bukan disebabkan kerasnya pendidikan TNI.

Julius menjelaskan, menurut formulasi statistik hukum sosial, kurva normal adanya penyimpangan itu 5 sampai dengan 10 persen. Apabila merujuk pada rumus itu, maka pasti ada satu atau dua anak yang menyimpang di dalam keluarga yang punya banyak anak.

“Apalagi tentara dengan jumlah 400 ribu orang. Pasti ada satu dua yang menyimpang,” ujar Julius kepada Forum Keadilan.

Teori Formulasi Kurt Lewin juga mengatakan bahwa perilaku seseorang dihasilkan dari interaksi personal dan lingkungan. Begitupun dengan prajurit TNI, kata Julius, individu-individu yang hidup di lingkungan mereka berpengaruh kuat terhadap perilakunya.

Untuk itu Julius berpendapat, kurang tepat kalau berbicara soal salah atau tidaknya kurikulum pendidikan militer.

“Karakter kejam, sadis dan brutal, bukan lagi dominasi latar belakang pekerjaan, tetapi sudah menjadi masalah bangsa. Lihat saja maraknya pembunuhan sadis yang banyak diviralkan oleh media,” ungkapnya.

Meski begitu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menyebut kasus kekerasan oleh oknum TNI tersebut seharusnya menjadi titik tolak pemerintah dan juga institusi TNI untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh.

Berdasarkan dokumentasi KontraS sepanjang bulan Mei 2022–Juni 2023, terdapat 10 kasus atau peristiwa yang menunjukan tren penyiksaan yang dilakukan aparat militer. Sementara jika ditarik lebih jauh, yakni 2018 sampai 2021 terdapat 277 kasus kekerasan yang dilakukan anggota TNI.

“Ini semakin memperburuk ‘track record’ TNI dalam menjaga bentuk-bentuk perdamaian di masyarakat,” kata Dimas kepada Forum Keadilan.

Dimas mendesak untuk kasus, misalnya kasus oknum anggota Paspampres yang aniaya pemuda di Aceh, diproses dalam peradilan umum dan tidak dalam peradilan militer.

“(Peradilan sipil) akan lebih transparan dan akuntabel serta tidak berporos pada eksklusifitas di tubuh peradilan militer itu sendiri,” ucap Dimas

Pengadilan Militer kerap kali gagal dalam memberikan rasa keadilan untuk korban dan keluarga korban. Pada kasus pembunuhan Luther dan Apinus di Papua, berdasarkan pantauan KontraS, 10 Anggota TNI yang diadili di Pengadilan Militer III-16 Makassar divonis rendah dengan pidana kurang dari 1 tahun.

Di sisi lain, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mereformasi peradilan militer.

Julius Ibrani menyoroti bahwa peradilan militer merupakan satu-satunya peradilan yang tidak pernah tersentuh untuk di reformasi setelah Indonesia memasuki tahun ke 25 reformasi.

“Presiden Jokowi harus mengeluarkan Perppu untuk reformasi Peradilan Militer. Kuncinya di situ,” tegasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)