TNI Aktif di Jabatan Sipil Sangat Potensial Melanggar Hukum

FORUM KEADILAN – Polemik penempatan TNI aktif di jabatan sipil menjadi persoalan yang tengah diperdebatkan belakangan ini. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun berencana mengevaluasinya.
Mencuat hal itu usai Kabasarnas dan Koordinator Administrasinya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap di Basarnas. Penetapan itu lantas membuat adanya keraguan bahwa TNI aktif tak seharusnya diembankan di jabatan sipil.
Peneliti SETARA Institute Ikhsan Yosarie juga menilai, penempatan TNI aktif di jabatan sipil tidak didukung infrastruktur hukum yang baik, sehingga peluang melanggar hukum sangat terbuka.
“Ketika TNI aktif ditempatkan di jabatan sipil, maka potensi mereka untuk melanggar hukum ini terbuka,” papar Ikhsan Yosarie, kepada Forum Keadilan, Rabu, 2/8/2023.
Sejatinya, dalam Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa prajurit aktif yang menempati jabatan sipil harus melakukan pensiun dini. Namun, dalam Pasal 47 Ayat 2 terdapat beberapa jabatan sipil yang boleh dijabat oleh TNI aktif tanpa harus pensiun.
Adapun jabatan tersebut ialah Koordinator Bidang Politik dan Hukum Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Melihat aturan itu, tentunya Kabasarnas dan Koordinator Administrasinya termasuk dalam jabatan sipil yang memang boleh dijabat oleh TNI aktif. Tetapi persoalannya, kata Ikhsan, ketika TNI menduduki jabatan sipil seharusnya didorong dengan revisi Undang-Undang Militer bahwa mereka harus tunduk pada pengadilan sipil.
Kemudian persoalan lainnya, adanya TNI aktif yang menempati jabatan-jabatan sipil di luar lembaga yang diperbolehkan oleh UU TNI.
Menurut data Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di tahun 2020 sampai 2022, setidaknya ada delapan jabatan yang seharusnya tidak boleh ditempati oleh TNI aktif.
Jabatan tersebut, yakni Komisaris Utama PT Dahana, Staf Khusus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Bidang Pengamanan Destinasi Wisata dan Isu-Isu Strategis, Komisaris Utama PT Dirgantara Indonesia, Direktur Jenderal pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Komisaris Utama PT Pindad, Penjabat (PJ) Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia.
Penempatan TNI aktif dalam data tersebut, menurut Ikhsan, merupakan bentuk perluasan dari jabatan yang diperbolehkan. Tentunya itu berlawanan dengan aturan. Selain itu, juga berdampak ke profesionalisme TNI.
“Seharusnya TNI itu fokus pada isu pertahanan keamanan. Ketika dia ditempatkan di jabatan sipil, maka mereka sehari-harinya akan fokus pada instansi-instansi sipil. Itu sama sekali tidak produktif atau tidak menunjang fungsi mereka sebagai alat pertahanan negara,” tegasnya.
Sependapat, Pengamat Hukum Tata Negara sekaligus Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menyebut, seorang prajurit militer aktif yang menjabat di institusi sipil hakikatnya tidak kompatibel dalam mengemban tugas.
Menurutnya, TNI yang memasuki jabatan sipil akan merusak sistem kepegawaian.
“Kalau sekarang menurut kerangka hukum yang ada memang boleh. Tapi, jadinya dia tidak kompatibel dengan jabatannya di sipil. Dampaknya, pasti merusak sistem kepegawaian, karena jadinya banyak jabatan sipil yang harus di duduki militer,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan.
Kata Bivitri, TNI idealnya tetap menduduki jabatan kemiliteran. Hal tersebut bukan karena pembagian tugasnya, namun dilihat dari segi kultur organisasi.
“Kalau di militer itu kan memang dididik (keras) dan memang seharusnya begitu. Dia tidak demokratis, masa orang mau nyerang negara kita mereka pungut suara dulu kan itu nggak mungkin. Tapi jadinya dia tidak kompatibel dengan jabatannya di sipil. Makanya di banyak negara dan Indonesia sudah mulai merapikan itu sejak reformasi. TNI nggak boleh duduk di jabatan sipil. Kecuali sudah mundur, jadi yang masih aktif itu tidak boleh (menjabat) di negara demokratis,” ungkapnya.
Bivitri mengatakan, organisasi TNI belum dirapikan secara jelas, sehingga ada penumpukan jenderal yang jabatannya tinggi kemudian disebar ke jabatan institusi sipil. Ia berpendapat, jika seorang prajurit aktif militer masuk ke jabatan sipil secara signifikan akan meruntuhkan sistem demokrasi yang sudah ada.
Sejumlah masalah yang dinilai akan timbul ketika prajurit TNI menempati jabatan sipil, dikatakan Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri seharusnya menjadi momentum untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.
Menurutnya Negara, dalam hal ini Eksekutif dan Legislatif sudah memiliki alasan yang cukup untuk merevisi regulasi yang sudah usang tersebut.
“Dilihat dari sisi manapun, substansinya, prakteknya, politik hukumnya, sudah banyak argumen-argumen untuk negara merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997,” ucapnya saat diwawancarai Forum Keadilan di Gedung Imparsial, Rabu, 2/8.
Kata Gufron, ada tiga alasan utama yang menjadi basis argumentasi untuk merevisi UU Pengadilan Militer.
“Pertama, itu sudah diamanatkan di TAP MPR (Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri) untuk merevisi UU Peradilan Militer,” imbuhnya.
Kedua, menurutnya, ialah substansi pada regulasi tersebut sudah banyak yang kadaluarsa, sehingga bertentangan dengan produk hukum pasca tahun 1998.
“Ketiga, secara praktek ini menjadi instrumen impunitas untuk para perwira,” lanjutnya.
Menurut Gufron, peradilan militer sangat tertutup dan lagi ada hal relasi kepangkatan. Ia mengamini bahwa peradilan militer selalu jadi instrumen hukum untuk melepaskan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana untuk tidak diadili di peradilan umum.
Selain itu, Gufron mengungkapkan bahwa peradilan militer merupakan sebuah modus praktek yang banyak terjadi kepada para perwira, terutama yang bersangkutan dengan pelanggaran HAM.
“Ini modus praktek, di tingkat pertama divonis berat. Beberapa tahun diputus bersalah dan dihukum penjara plus pemecatan. Terus (anggota) mengajukan banding dan diterima, hukumannya diperingan,” tuturnya.
Meskipun mereka sudah menjalani hukuman, mereka yang sudah divonis bersalah masih bisa berkarier di TNI.* (Tim FORUM KEADILAN)