James Rodriguez, Akhir Era No.10 Sejati

James Rodriguez saat melawan Jepang pada Piala Dunia 2014 Brasil | (Photo by Stuart Franklin - FIFA/FIFA via Getty Images)

FORUM KEADILAN – Eks playmaker Real Madrid, James Rodriguez, dikabarkan merapat ke klub Brasil Sao Paulo untuk musim 2023-2024 mendatang. Kabar ini disampaikan oleh jurnalis Italia, Fabrizio Romano.

James menerima tawaran El Tricolor, julukan Sao Paulo, untuk kontrak selama dua tahun. Ia bakal diboyong ke Brasil dengan status bebas transfer.

Bacaan Lainnya

Bintang timnas Kolombia itu tidak memiliki klub alias free agent setelah kontraknya dengan Olympiacos habis pada 30 juni 2023. Sebelum akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Sao Paulo, ia sempat ditawari bermain di Major League Soccer (MLS), namun menolaknya.

“Olympiacos FC dan James Rodríguez telah memutuskan untuk mengakhiri kerja sama mereka. James akan selalu menjadi bagian dari klub kami dan anggota keluarga ‘merah-putih’. Kami ingin berterima kasih atas jasanya, dan kami berharap dia sukses di masa depan,” kata klub tersebut dalam sebuah pernyataan resmi.

James bergabung dengan Olympiacos pada bulan September tahun lalu, “hanya” mencatatkan 23 penampilan di semua ajang dan mencetak 5 gol.

“Saya ingin berterima kasih kepada semua orang atas semua waktu yang telah kita habiskan bersama,” tulis James di akun Twitternya.

“Meskipun kita akan berpisah, saya merasa bahwa saya akan selalu menjadi anggota dan disambut di keluarga pelabuhan besar Piraeus. Saya berharap yang terbaik untuk Olympiacos dan setiap kesuksesan di masa depan,” tutup James mengucapkan salam perpisahan.

Tidak diperpanjangnya kontrak James bersama Thrylos (julukan Olympiacos) dan hengkangnya ia keluar dari Eropa menuju Sao Paulo, seolah mempertegas penurunan drastis karier sepak bola James.

James yang baru berusia 32 tahun, telah bermain untuk 10 klub berbeda di 10 negara berbeda sepanjang kariernya. Terlebih dalam 3 tahun terakhir, James bermain di 3 klub berbeda dengan masing-masing durasi per klub hanya satu musim.

Hal ini menandakan klub-klub yang pernah dibelanya tidak tertarik untuk bekerja sama dengan James dalam jangka panjang. Disinyalir, ini akibat ketidakkonsistenan performa, sering cedera, dan kekurang-mampuan James dalam beradaptasi dengan gaya sepak bola modern.

Sembilan tahun yang lalu, atau tepatnya pada 2014, James Rodriguez adalah pemain muda paling bersinar sekaligus bintang Piala Dunia di Brasil.

James, yang muncul mendadak sebagai protagonis utama di saat absennya Radamel Falcao, sukses mengantar timnas Kolombia sampai babak perempat final sebelum kalah tipis 2-1 dari tuan rumah. Pencapaian tersebut merupakan pencapaian terbaik Kolombia selama keikutsertaan mereka di ajang World Cup.

Tak hanya itu, James juga merebut gelar top scorer Piala Dunia dengan catatan 6 gol dimana salah satu golnya ke gawang Uruguay pada babak 16 besar dinobatkan sebagai gol terbaik di tahun 2014 dan mendapatkan penghargaan Puskas Award.

James baru berusia 22 tahun kala itu, dan dia tidak menyadari bahwa nasib baiknya di musim panas itu akan terus berlanjut.

Berkat aksi ciamiknya di Brasil ia langsung direkrut oleh Real Madrid setelah ditransfer dari AS Monaco. Dipercaya mengenakan nomor punggung “10”, James tampil trengginas bersama El Real dan di penghujung musim terpilih sebagai gelandang terbaik La Liga.

Namun sayang, setelah kehadiran Zinedine “Zizou” Zidane yang naik kasta sebagai pelatih kepala Real Madrid menggantikan Rafael Benitez, James seperti terpinggirkan. Ia tidak mendapat tempat dalam skema 4-3-3 yang diusung oleh Zidane.

Saat itu, Zidane lebih gemar memakai sistem single pivot di lini tengah Madrid dimana Casemiro bakal dipastikan mengisi pos tersebut ditemani oleh dua gelandang tengah yang juga memiliki naluri bertahan cukup baik, yaitu Luka Modric dan Toni Kroos.

Kombinasi trio ini memang terbukti sangat sukses dimana mereka, dengan tangan dingin Zidane, berhasil membawa El Merengues meraih berbagai gelar domestik maupun internasional, diantaranya yang paling kolosal 3 kali juara Liga Champions berturut-turut, yaitu pada 2015/2016, 2016/2017, dan 2017/2018.

Pada periode itu, James yang memang seorang playmaker bernomor 10 tulen, jarang dimainkan oleh Zidane yang menginginkan tipikal gelandang yang juga aktif dalam bertahan.

Paling banter ia akan turun sebagai pelapis Gareth Bale, yang saat itu juga sedang moncer-moncernya, untuk mengisi posisi sayap kanan. Bagi James, posisi ini tentu kurang cocok untuk mengakomodir peran magisnya.

Ia akan jauh lebih efektif jika dibiarkan bebas dibelakang striker utama untuk mengatur ritme permainan sebagai dirijen tim dan sebagai pemberi umpan-umpan matang kepada rekan-rekannya.

Sialnya, di saat itu James juga sering cedera yang berakibat jam terbangnya makin terkikis. Pada 2017, James sempat dipinjamkan ke Bayern Munich selama dua tahun dengan klausul pembelian di akhir masa peminjaman.

Ia tampil cukup baik dengan mengemas lebih dari 50 kali penampilan dan menyarangkan 14 gol dalam dua musim. Namun, karena berkonflik dengan pelatih Bayern saat itu, Niko Kovac, dan juga direktur olahraga Hasan Salihamidzic, Die Roten batal mempermanenkan statusnya.

Semenjak saat itu, James tidak pernah benar-benar mendapatkan kembali bentuk konsistensi permainan terbaiknya yang pertama kali ia tunjukkan di panggung Piala Dunia.

Sempat kembali ke Madrid dan hanya tampil 8 laga sepanjang musim 2019/2020, James “dibuang” ke Premier League untuk bermain dengan Everton.

Bertahan semusim, ia lalu cabut ke Qatar berpetualang bersama Al-Rayyan sebelum akhirnya terdampar kembali semusim kemudian untuk bergabung dengan Olympiacos.

Jika dirunut, tampaknya kemalangan terbesar James adalah saat nasib mempertemukannya dengan Zidane sebagai sosok pelatih.

Mengingat Zidane sebagai salah satu gelandang serang terhebat sepanjang masa, mungkin publik sepak bola seperti dibuat terheran.

Karena sebagai seorang playmaker, Zidane rasanya akan lebih mengakomodir pemain seperti James, yang memiliki beberapa karakteristiknya: semangat bebas dan kemauan untuk menjelajah ke mana pun dia mau di seluruh penjuru lapangan.

Sangat mengejutkan bahwa dalam skema taktiknya sebagai pelatih, Zidane tidak pernah benar-benar memberi ruang untuk seorang fantasista sejati, nomor 10 konvensional yang benar-benar bisa dia andalkan—bukan James, bukan Isco, dan bukan pula Martin Odegaard.

Performa gemilang James bersama FC Porto, AS Monaco dan timnas Kolombia yang membuat semua orang menganggapnya sebagai pahlawan sama sekali tak dihiraukan oleh Zidane.

Sebaliknya, ia secara konsisten lebih memilih gelandang kuda pekerja keras macam Modric, Kroos, Lucas Vázquez, maupun Federico Valverde.

Jika melihat tren sepakbola saat ini, keputusan Zidane kala itu tidaklah keliru. Dibalik begitu visionernya ia saat menjadi pemain, Zidane juga nampaknya memiliki visi yang tajam saat beralih sebagai pelatih.

Ia mungkin memprediksi bahwa sepak bola modern dewasa ini sudah tidak lagi memainkan skema yang begitu mengandalkan pada visi dan kreatifitas “sang kreator” nomor 10 sejati macam dirinya, Diego Maradona, Michael Laudrup, Roberto Baggio, dan lain sebagainya.

Melihat sepak bola modern dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang, tim-tim besar dunia, terutama di Eropa, sudah jarang mempunyai pemain dengan karakteristik dan fungsi seperti playmaker konservatif layaknya era 1980-2010-an.

Hanya segelintir pemain dengan kapasitas tersebut yang bisa eksis dan menonjol ke permukaan. Itupun jika skema dan taktik yang di kreasi oleh pelatih dapat mendukung gaya permainan yang mengakomodasi peran si nomor 10.

Kecenderungan gaya sepak bola saat ini justru lebih mengandalkan pemain dengan fisik tangguh serta daya tahan luar biasa yang mampu tampil konsisten sedikitnya dalam 2-3 kali pertandingan per minggu selama bertahun-tahun.

Build up play, permainan dari bawah, penguasaan bola, semua pemain ikut bertahan dan semua pemain ikut menyerang adalah gaya permainan yang bahkan menjadi falsafah sepak bola yang banyak di adopsi dewasa ini.

Para pemain dituntut agar memiliki ketahanan fisik dan fokus yang teramat tinggi untuk mengarungi setiap pertandingan dalam satu musim. Dengan metode seperti ini, pemain yang lebih mengandalkan skill tinggi, tentunya bakal sulit untuk bersaing.

Ketika pemain dengan kreativitas sentral seperti James diberi tugas ekstra untuk turun mengawal pertahanan, mereka menjadi sulit untuk mendemonstrasikan kemampuan terbaik yang dimilikinya, yakni mengatur serangan.

Dengan lebih sedikit panggung yang diberikan untuk pemain semacam ini, sungguh ironis melihat banyak dari mereka menjadi penghangat bangku cadangan, atau bahkan terbuang dari klubnya dan menjadi spesies yang terancam punah.

Posisi mereka yang dulunya adalah nyawa sebuah tim menjadi tidak relevan lagi dengan skema permainan yang berlaku saat ini.

Namun, mungkin ini cara yang kurang tepat untuk melihatnya. Karena bagaimanapun juga, perubahan dalam hal apa pun merupakan sebuah keniscayaan.

Ketika era “penguasa lapangan” layaknya James dan Zidane perlahan mendekati kepunahan, justru akan muncul penguasa-penguasa baru dengan relevansi dan keterampilan yang dibutuhkan bagi sepak bola modern.