FORUM KEADILAN – Tiga kasus dugaan suap pengaturan putusan kasasi yang melibatkan internal Mahkamah Agung dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama caturwulan terakhir 2022. Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan tiga hakim agung terseret dalam pusaran kasus suap.
Terbongkarnya mega suap di lembaga peradilan tertinggi Indonesia ini dimulai dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Semarang dan Jakarta pada 21 September 2022 lalu. KPK mencurigai adanya transaksi suap melibatkan perkara koperasi simpan pinjam Intidana di Pengadilan Negeri Semarang.
Penangkapan kuasa hukum pengajuan kasasi hingga PNS sebagai fasilitator berujung pada belenggu tangan Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Sudrajad diduga menerima suap dengan balasan dikabulkannya kasasi pailit Koperasi Intidana.
Pengembangan dilakukan KPK terhadap para tersangka, termasuk dari Sudrajad Dimyati dan Desy Yustria. Gerbang lain dari transaksi perkara di MA terbuka hingga menyeret Hakim Agung Gazalba Saleh sebagai tersangka. Kasus menjerat Gazalba masih bersentuhan dengan KSP Intidana.
Seperti halnya Sudrajat, penyuap Gazalba tak lain adalah Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto dibantu dua advokat yang sama, yakni Yosep serta Eko. Bedanya, perkara ditangani Gazalba menyangkut pidana dengan target pengurus KSP Intidana, Budiman Gandi Suparman selaku terdakwa divonis penjara. Dana disiapkan untuk kedua perkara tersebut bernilai Rp 2,2 miliar.
Melanjutkan pengembangan, KPK mengungkap adanya kasus baru di MA yang masih berkorelasi dengan tersangka diamankan sebelumnya. Konstruksi kasus serupa dengan sebelumnya, suap pengaturan vonis kasasi. Perkara dimainkan menyangkut pailit Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar. Di kasus ini salah satu yang disangkakan KPK adalah hakim yustisial/panitera pengganti bernama Edy Wibowo.
Belum puas, KPK terus menggali kasus dengan konstruksi suap penanganan perkara di MA. Nama besar lain terseret, kali ini giliran Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan dan perantaranya, Dadan Tri Yudianto yang disangkakan pada bulai mei 2023.
Jauh sebelum penersangkaan Hasbi Hasan, tepatnya tanggal 22 dan 23 Februari 2023, dua mantan hakim agung dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus suap penanganan perkara di tubuh MA. Salah satunya adalah mantan Hakim Agung Sofyan Sitompul.
Sofyan Sitompul diagendakan dimintai keterangan pada hari Rabu, 22/2. Sedangkan saksi Andi Samsan Nganro dipanggil pada Kamis, 23/2. Namun keduanya mangkir dari pemeriksaan.
Pemanggilan ini menggambarkan niatan KPK menjadikan kasus suap perkara di tubuh MA sebagai pintu masuk mengurai kejanggalan putusan kasasi Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo kala itu.
Pasalnya, pasca penetapan Gazalba Saleh sebagai tersangka, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menegaskan pihaknya membuka peluang mengusut kemungkinan adanya suap di balik kasasi Edhy Prabowo.
Dugaan itu semakin menguat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengancam jemput paksa bila dua mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) kembali mangkir dari panggilan tim penyidik. KPK bersikukuh keterangan Andi Samsan Nganro dan Sofyan Sitompul sangat penting untuk menguak perdagangan putusan perkara di lingkungan MA.
“Kalau secara normatif saksi maupun tersangka itu boleh dijemput paksa, bisa dipanggil paksa. Kalau bahasa hukum acaranya adalah, diperintah membawa. Teknisnya dilakukan penangkapan,” kata Ali kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jumat, 24/2/2023 ketika itu.
Dalam catatan Forum Keadilan, Sofyan Sitompul sesungguhnya berulang kali menjadi bagian dari majelis hakim yang menyunat hukuman seorang terdakwa di tingkat tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Diantaranya, Sofyan Sitompul menyunat hukuman mantan Kadis Pekerjaan Umum (PU) Papua Mikael Kambuaya dari 6 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Kambuaya terbukti korupsi jalan Kemiri-Depapre dalam proyek senilai Rp 90 miliar.
Sofyan Sitompul juga mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Irjen Pol Djoko Susilo sebatas aset yang dirampas. Adapun untuk hukuman badan tetap, yaitu selama 18 tahun penjara. MA hanya mengabulkan soal uang pengganti menjadi Rp 32 miliar.
Bahkan di tingkat PK, Sofyan Sitompul merevisi pencabutan hak politik Djoko Susilo menjadi lima tahun sejak Djoko keluar dari penjara. Duduk sebagai ketua majelis Suhadi dengan anggota Krisna Harahap dan Sofyan Sitompul.
Selain itu, Sofyan Sitompul bersama Abdul Latief mengabulkan PK Lucas di kasus perintangan penyidikan Eddy Sindoro
Inkonsistensi KPK
Jauh panggang dari api. Pepatah itu digambarkan dalam niatan penyidik memeriksa Sofyan Sitompul dan Andi Samsan Nganro. Jangankan menjemput paksa, kabar mengenai pemanggilan kedua Andi dan Sofyan Sitompul bahkan tak pernah lagi terdengar dari lembaga antirasuah tersebut.
Nyaris empat bulan dari mangkirnya pemeriksaan pertama, KPK tak jua memanggil ulang Sofyan Sitompul. Padahal dalam berbagai kesempatan KPK menegaskan tak pernah gentar untuk memeriksa siapapun. Ada Apa?
Kepada Forum Keadilan, Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengakui pihaknya belum menjadwalkan ulang pemeriksaan Sofyan Sitompul.
“Sampai hari ini kami belum mendapatkan jadwal,” katanya, Selasa 13/6/2023.
Ali menyebut, meskipun pemanggilan Sofyan Sitompul belum dijadwalkan ulang, pihaknya akan tetap melakukan pemanggilan jika diperlukan keterangannya sebagai saksi.
“Tapi kalau memang dibutuhkan, pasti dipanggil sebagai saksi untuk perkara yang sedang berjalan ini,” ujar Ali.
“Kalau memang ada kebutuhan untuk itu pasti akan dipanggil ulang. Sejauh ini belum dijadwalkan,” imbuhnya.
Pernyataan Ali seolah kontradiktif dengan sikap KPK di awal pemanggilan Sofyan Sitompul. Padahal kala itu Ali mengingatkan potensi pemanggilan paksa terhadap Sofyan Sitompul jika terus menghindar dari pemeriksaan.
Menyikapi inkonsistensi KPK, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, KPK seharusnya segera menuntaskan kasus suap perkara di lingkungan MA dengan melanjutkan pemeriksaan saksi secara progresif, termasuk mantan Hakim Agung Sofyan Sitompul. Kelanjutan pemeriksaan saksi dinilai penting untuk membongkar praktik jual beli perkara di MA secara gamblang.
Julius Ibrani bahkan menuding lambatnya penanganan dan pengembangan perkara mengesankan KPK memiliki tujuan tertentu.
KPK tukas Julius, sebenarnya dapat melihat potensi keterlibatan oknum MA lainnya dari putusan-putusan janggal dikeluarkan Gazalba sebagai majelis hakim. Dalam putusan kasasi Edhy Prabowo misalnya, pemeriksaan dapat dilakukan kepada hakim agung lain yang turut menjadi pemberi vonis.
“Apakah kesulitan ini diciptakan, atau memang tidak diusut? Secara sistemik. Kan itu pertanyaannya, makanya kemudian dari hakim yang ini kesana, loncat-loncat. Padahal dari satu nama saja itu bisa terstruktur siapa saja yang terlibat,” sergah Julius.
“Utamanya dalam hal perkara ini, kan satu perkara ada 3 majelis hakim. Jadi gampang mengusutnya gitu. Jadi kalau dibilang KPK kesulitan kesulitan karena tidak tahu itu nggak mungkin,” sambungnya.
Setali tiga uang, Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mudzakkir mendorong KPK greget menuntaskan kasus-kasus ditangani hingga tuntas. Tak hanya perkara di MA, berbagai kasus lain juga disebutkan belum sepenuhnya dituntaskan KPK, sebut saja kasus korupsi melibatkan kementerian sosial.
“KPK selalu mengatakan follow the money, moneynya banyak sekali, ternyata ujungnya belum diakui dan pelakunya belum selesai,” kata Mudzakkir
Konflik Kepentingan
Di sisi lain, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul FIckar Hadjar berpendapat, lambatnya pemanggilan kembali Sofyan Sitompul boleh jadi dikarenakan keharusan izin dari presiden. Hal itu mengingat status Sofyan SItompul sebagai saksi dalam kapasitasnya masih menjabat sebagai Hakim Agung.
“Untuk memeriksa pejabat negara seperti hakim agung juga harus persetujuan presiden, kecuali tertangkap tangan. KPK tidak takut pada presiden, takutnya pada hukum, makanya belum diperiksa karena belum ada izin presiden sebagai kepala negara,” kata Fickar.
Pandangan berbeda justru diutarakan mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Saut menilai pemeriksaan mantan hakim agung bisa dilakukan tanpa seizin presiden lebih dulu. Pun diharuskan melalui izin, dirinya menilai proses pemanggilan ulang yang hingga 5 bulan berlalu belum juga dilakukan sebagai keanehan.
“Menurut saya nggak mesti (izin presiden). Kalaupun harus, menunggu berapa lama? Harusnya orang-orang di istana juga paham. Indonesia lagi gonjang-ganjing, ini ada kasus seperti ini. Kan mereka baca media juga, berarti mereka gak punya perhatian terhadap kasus ini,” jelas Saut kepada Forum Keadilan, Rabu, 21/6/2023
Ia meyakini sesuai KUHAP, penyidik sebenarnya paham langkah yang harus dilakukan untuk mengungkap kasus ini secara utuh. Karenanya Sofyan melihat potensi adanya politicking ketika KPK membongkar kasus-kasus tertentu.
“Dari waktu ke waktu kasus ini kan simple sebenarnya kalau mau dilihat. Kemudian kenapa itu simple jadi ruwet lagi. itu kan pertanyaan kita. Oleh sebab itu ya kita tetap harus melihat kasus ini seperti sebagaimana kita merapikan kasus-kasus besar,” tutur Saut.
Adanya kemungkinan KPK setengah hati menurut Saut, disebabkan kurangnya peran legislator dalam fungsi kontrol. Selama ini menurut Saut, kritikan dalam penanganan perkara di KPK lebih banyak disuarakan masyarakat sipil melalui berbagai LSM.
“Kita sebenarnya harus memberi dorongan. Seperti contoh, ini kasusnya kalau kita bicara penegakan hukum kan di komisi 3. Kasus-kasus begitu kan yang sebenarnya menarik perhatian publik. Komisi 3 harus punya perhatian di situ. Itu (kasus) gimana? Panggil, kemudian karena dia (KPK) sudah di bawah pemerintah, kemudian pemerintahnya juga dipanggil, kan begitu,” tutup Saut. (Tim Forum Keadilan)