Grand Design Melanggengkan Kekuasaan

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang meminta perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang awalnya dari empat tahun menjadi lima tahun.
Terlepas dari polemik soal perpanjangan masa jabatan, yang sangat menarik untuk dicermati adalah berlaku surut tidaknya putusan MK tersebut. Banyak tafsir berseliweran di publik untuk menegaskan kepentingan mereka dari argumen yang dibangun.
Kepentingan para pihak dalam putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK justru menjadi sangat krusial dalam tafsir implementasi atau penerapan atas putusan tersebut.
Oleh karenanya, sangat lah perlu dibedah dari sisi hukum acara MK itu sendiri.
Hukum acara MK, baik yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dan Peraturan MK No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan putusan MK seharusnya bersifat prospektif alias berlaku ke depan.
Pasal 58 UU MK menyebutkan ‘Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945’. Sedangkan, Pasal 39 PMK No. 6 Tahun 2005 berbunyi ‘Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum’.
Bila mengacu kepada dua pasal tersebut, putusan MK ini seharusnya berlaku prospektif. Faktanya, dalam implementasi MK ternyata berulangkali mengesampingkan ketentuan tersebut, menerapkan putusan yang bersifat retroaktif atau berlaku surut.
Salah satunya adalah pengujian Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 dan Pasal 212 UU Pemilu Legislatif, MK mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif.
Mahkamah mengakui larangan mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif memang diberlakukan secara umum. Namun dalam pengujian UU, mahkamah menilai mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif merupakan diskresi para hakim. Bila putusan hanya bersifat prospektif, mahkamah khawatir tujuan perlindungan konstitusi tidak akan tercapai.
Kondisi ini seolah membuka ruang bagi para hakim MK untuk memutus sesuai dengan selera dan kepentingan yang melatarbelakanginya.
Tak ayal Guru Besar Tata Negara Universitas Gajah Mada Denny Indrayana langsung menuding bahwa putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK adalah bagian dari strategi pemenangan pihak tertentu pada Pilpres 2024.
Tudingan Denny secara tidak langsung menegaskan bahwa MK saat ini adalah alat politik yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik tertentu pula. Sukar untuk menafikannya.
Dalam konteks Pilpres 2024 kita dapat melihat perkubuan kepentingan yang menolak dan mendukung putusan perpanjangan pimpinan KPK adalah para pihak yang berseberangan dalam Pilpres 2024.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya begitu antusias menyambut putusan MK yang dipimpin oleh besannya sendiri, Ketua MK Anwar Usman.
Dalam waktu dekat Jokowi segera meneken perubahan masa jabatan pimpinan KPK melalui Keputusan Presiden (Keppres).
“Presiden akan mengubah Keppres terkait masa jabatan Pimpinan KPK yang akan berakhir 20 Desember 2023, diperpanjang satu tahun ke depan menjadi 20 Desember 2024,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PGHI), Julius Ibrani, kepada Forum Keadilan menyebut ada udang di balik batu terkait putusan MK tersebut.
“Udang di balik batu dari perlakuan istimewa terhadap Hakim MK ternyata seiring dengan proses pelemahan KPK dan transformasi KPK menjadi alat politik,” sergah Julius.
Julius menyebut putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tidak berdiri sendiri, melainkan sudah menjadi grand design dalam upaya melanggengkan kekuasaan
“Masih ingat Putusan MK sebelumnya, yang pada intinya menempatkan KPK sebagai Lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden. Lewat putusan tersebut Presiden Jokowi selaku Eksekutif tentu mendapatkan banyak manfaat karena berkuasa atas KPK,” tutur Julius.
Mundur ke belakang, taktik Kuda Troya untuk pelemahan KPK oleh Presiden Jokowi kata Julius, sudah terlihat jelas melalui Ketua KPK Firli Dahuri yang membuat KPK tidak berdaya dengan memberangus habis pegawai dan penyidik berintegritas melalui TWK.
“Ini sejalan dengan Revisi UU KPK,” imbuhnya.
“Ini bukti nyata bahwa KPK yang sudah tidak berdaya, kemudian menjadi alat yang diperdaya, untuk kepentingan politik 2024,” tutupnya. (Tim FORUM KEADILAN)