Jumat, 24 Oktober 2025
Menu

5 Alasan Partai Buruh Ajukan Uji Formil UU Cipta Kerja ke MK

Redaksi
Partai Buruh Ajukan Uji Formil Ke MK | Novia Suhari/forumkeadilan.com
Partai Buruh Ajukan Uji Formil Ke MK | Novia Suhari/forumkeadilan.com
Bagikan:

FORUM KEADILANPartai Buruh resmi menyerahkan Permohonan Uji Formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UUCK) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 3/5/2023.

Dalam pengajuan formil ini, Partai Buruh mengungkapkan ada lima alasan yang dijadikan sebagai dalil untuk menjadi pertimbangan MK membatalkan UUCK.

“Setidaknya ada lima alasan yang kami jadikan sebagai dalil untuk menjadi pertimbangan MK membatalkan UUCK. Dari lima alasan itu, alasan keempat dan alasan kelima menjadi argumen yang tidak mungkin bisa dibantah oleh siapa pun, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Ketua Koordinasi Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin, Rabu, 3/5.

Alasan pertama, UUCK termasuk pada saat masih berstatus Perpu, jelas-jelas telah mengangkangi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang pada prinsipnya menyatakan UUCK inkonstitusional. Ini, kata Partai Buruh, jelas pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience).

Alasan kedua, aturan tentang Cipta Kerja yang dimuat dalam Perpu tidak memenuhi kondisi-kondisi serta unsur-unsur kegentingan memaksa yang sudah ditetapkan standarnya oleh MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Menurut Partai Buruh, materi muatan Perpu Cipta Kerja secara substansi sama saja dengan materi muatan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.

“Tidak ada norma dalam Perpu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum seperti yang selama ini selalu dijadikan sebagai dalil oleh pemerintah. Itu palsu,” kata Said.

Said menilai, Perpu sejatinya hanya dijadikan pemerintah sebagai instrumen hukum untuk menegasikan atau menganulir Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Oleh karena tidak ada norma dalam Perpu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum, maka Perpu Cipta Kerja jelas tidak memenuhi unsur ‘kegentingan yang memaksa’ sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009,” jelas Said.

Alasan ketiga, pembentukan Perpu Cipta Kerja dan UUCK tidak memenuhi syarat Partisipasi Masyarakat secara Bermakna (Meaningful Participation).

“Doktrin Meaningful Participation yang diperkenalkan oleh ahli kami pada saat menjadi Pemohon Uji Formil UUCK jilid pertama dulu, sudah diadopsi dan dijadikan sebagai standar oleh Mahkamah Konstitusi untuk perkara pengujian formil,” lanjutnya.

Faktanya, kata Said, prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna ini tidak dipenuhi dalam pembentukan Perpu dan UUCK. Tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat.

“Kalau pun ada, masukan-masukan mereka diabaikan oleh pemerintah dan DPR,” tegasnya.

Alasan keempat, UUCK terbukti ditetapkan di luar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu.

Merujuk Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang dipertegas dengan Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), kekuasaan DPR dalam mengesahkan sebuah Perpu menjadi UU tegas dibatasi.

Alasan kelima yang diajukan Partai Buruh untuk menyatakan UUCK inkonstitusional adalah tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perpu dengan menggunakan metode omnibus law.

Dijelaskan, dalam Pasal 42A UU PPP diatur, metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal, semisal UU.

“Omnibus law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perpu,” jelas Said.

“Konstruksi hukum yang demikian disebabkan karena Pasal 42A UU PPP sudah ‘mewanti-wanti’ bahwa kalau mau membuat produk hukum dengan menggunakan metode omnibus law, maka harus dipenuhi dulu tiga syarat,” tandasnya.*

Laporan Novia Suhari