Minggu, 06 Juli 2025
Menu

Pengasuh Ponpes di Kabupaten Lampung Tengah Cabuli Santrinya

Redaksi
Ilustrasi korban pencabulan. | ist
Ilustrasi korban pencabulan. | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Lampung Tengah, Provinsi Lampung, berinisial AD melakukan pencabulan terhadap santrinya.

Santri berusia 18 tersebut sudah dipulangkan ke rumahnya. Kasus tersebut telah dilaporkan ke Polres Lampung Tengah pada Desember 2022 lalu.

Kasatreskrim Kepolisian Resor (Polres) Lampung Tengah Ajun Komisaris Polisi (AKP) Edi Qorinas membenarkan adanya laporan pelecehan terhadap santri tersebut.

“Iya benar, laporan itu kami terima diakhir tahun 2022,” kata Edy, dikutip Kamis, 30/3/2023.

Kendati demikian, kasus tersebut kini telah dihentikan oleh Unit PPA Polres Lampung Tengah, lantaran korban telah mencabut laporannya dan sepakat menyelesaikan masalah tersebut melalui jalur perdamaian.

“Kedua belah pihak sudah sepakat berdamai, keluarga korban juga sudah mencabut laporannya,” terang Edy.

Merespons hal itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung Profesor Mukri mengatakan, kasus asusila yang dilakukan pengasuh ponpes terhadap santri mesti mendapat perhatian lebih. Pasalnya, menurut Mukri, jika dilakukan pembiaran dan tidak diproses hukum, dikhawatirkan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku asusila.

“Kasus ini perlu mendapat perhatian kita bersama, tidak hanya oleh aparat penegak hukum,” kata Mukri.

Menurut mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan itu, apabila kasus ini terkesan diabaikan dan tidak mendapat perhatian yang serius, maka berpotensi akan terulang lagi.

“Di sini pentingnya peranan penegakan hukum oleh aparat terkait, agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan menjadi pelajaran bagi kita semua,” ungkap Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Damar Lampung Sely Fitriani mengatakan, kasus itu semakin mempertegas situasi kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan sudah tidak bisa dianggap remeh.

“Apalagi, pelaku merupakan seorang pendidik, dianggap mengetahui ilmu agama yang seharusnya ikut aktif menjamin dan melindungi anak dan perempuan atas hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1), tetapi justru memberikan dampak buruk pada kondisi fisik dan psikologis anak,” kata Sely.

Sely bilang, hal yang seharusnya didapat koban, selain akses keadilan atas kasusnya, harus diberikan dukungan tanpa mengambil alih pengambilan keputusan korban.

“Privasi korban harus dijaga dengan tidak menceritakan kejadian yang menimpa korban ke pihak lain tanpa persetujuan korban. Korban tentu tidak ingin peristiwa traumatik tersebut disebar ke publik,” ungkap Sely.

Kemudian, penting mendorong korban untuk mencari dukungan dan bantuan, bila memungkinkan pendampingan ke korban untuk mencari dukungan ke individu atau lembaga layanan yang bisa membantu korban ke Layanan Medis, Perlindungan Hukum, Layanan Psikologis, maupun Layanan Terpadu seperti Rumah aman, Psikologis, Medis, Hukum.

Sely menyayangkan kasus pencabulan tersebut kini telah ditutup karena korban mencabut laporan. Sebab, pelaku kini bisa melenggang bebas, dan tidak menutup kemungkinan akan ada korban selanjutnya.

“Seharusnya kasus ini tidak ditutup, karna justru menjadi penyumbang yang membuat terus terjadinya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, dan semakin membuat traumatik anak dan tidak memberikan efek jera pada pelaku,” ungkap Sely. *