FORUM KEADILAN – Temuan pemerintah Malaysia adanya kampung Warga Negara Indonesia (WNI) ilegal di wilayah Negeri Sembilan, pada awal Februari lalu, cukup membetot perhatian publik.
Menurut Migrant Watch, adanya WNI ilegal di sana, karena pemerintah Malaysia gagal memenuhi kebutuhan ketenagakerjaan buat rakyatnya secara legal. Penanganan terhadap kasus tersebut harusnya dilakukan dengan pendekatan humanis.
Direktur Eksekutif Migrant Watch Aznil Tan menyebut, mestinya pemerintah Malaysia tidak menyalahkan kelompok WNI tersebut. Sebab, kata Aznil, mereka adalah korban dari sistem yang tidak pas, yang dibuat oleh pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk memfasilitasi kebutuhan rakyatnya dalam dunia ketenagakerjaan.
“Untuk itu, WNI tersebut mesti diperlakukan secara baik-baik dan penanganannya harus pendekatan persuasif dan edukatif. Pemerintah Malaysia tidak boleh sewenang-wenang,” kata Aznil Tan melalui keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu, 19/2/2023.
Persoalan pekerja ilegal masuk ke Malaysia, lanjut Aznil, adalah hal yang sudah lama terjadi dan sampai sekarang belum juga ditemukan cara mengatasinya. Aznil Tan menyebut bahwa hal tersebut karena belum terciptanya sistem yang efektif dan produktif yang menguntungkan kedua negara.
“Pemerintah belum berhasil membangun sistem yang simbiosis mutualisne, menguntungkan semua pihak. Pemangku kebijakan kedua negara adalah orang teoritis dan tidak menguasai persoalan di lapangan, maka wajar sampai sekarang produk sistem dibuat tidak efektif, bahkan jauh api dari panggangnya, alias tidak nyambung. Pejabat ‘anak mami’ ini lah maka masih terus berlangsung karut-marutnya dunia ketenagakerjaan migran dan memakan korban rakyat jelata,” ketusnya.
Tokoh Aktivis 98 yang sekarang konsen pada isu pekerja migran ini bilang, persoalan tersebut juga disebabkan lemahnya penegakan hukum dan pemerintah Malaysia bermain ‘dua kaki’.
“Pemerintah Malaysia mengakui sendiri bahwa ada 70% pekerja migran ilegal bekerja di perusahaan peladangan sawit. Ironisnya hanya segelintir perusahan ditindak. Artinya lemah penegakan hukum kepada perusahaan tersebut dan Malaysia bermain dua kaki untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di tengah masyarakatnya mengalami ‘kiamat tenaga kerja”. Karena, satu sisi membiarkan perekrutan secara ilegal. Maka sampai kapanpun persoalan ini akan terus terjadi,” ujar Aznil Tan.
Sedangkan di sisi lain, Aznil Tan mengungkap, bahwa penempatan legal terjadi bancakan. Proses penempatan dilakukan secara tidak sehat oleh para mafia Malaysia, bekerja sama dengan Indonesia.
“Mirisnya lagi, pekerja migran masuk secara legal, selain prosesnya rumit, pemerintah Malaysia seperti membiarkan pembancakan dilakukan oleh mafia penempatan pada proses penempatan untuk mengambil keuntungan secara tidak sehat,” kata Aznil Tan.
Sebelumnya, temuan perkampungan ilegal WNI di Negeri Sembilan tersebut berada dalam hutan yang cukup terisolasi.
Direktur Imigrasi Negeri Sembilan Kenneth Tan Ai Kiang mengatakan, timnya harus berjalan 1,2 kilometer melalui hutan sebelum mereka mencapai daerah tersebut. Namun, di dalamnya terdapat beberapa fasilitas seperti sekolah dengan kurikulum Indonesia.
Dalam operasinya, Malaysia menahan warga dengan usia antara dua bulan hingga 72 tahun. Sebelas dari mereka yang ditangkap adalah laki-laki, 20 perempuan dan sisanya anak-anak.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha mengatakan, 67 WNI penghuni perkampungan ilegal yang ditangkap Malaysia sudah diberi pendampingan hukum.*