FORUM Keadilan – Johanis Tanak akhirnya terpilih menjadi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan Lili Pintauli. Keterpilihannya tersebut tak terlepas dari buah pemikirannya yang memukau mayoritas anggota Komisi III DPR.
Di hadapan anggota dewan mantan Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mengusulkan adanya restorative justice untuk koruptor. Pemikiran tersebut tergolong baru, karena restorative justice baru berlaku untuk kasus tindak pidana umum.
Peraih gelar doktor ilmu hukum Universitas Airlangga itu mengutarakan pemikirannya itu saat mengikuti fit and proper test di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 28 September 2022. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1983 berharap pemikirannya itu dapat diterima .
Menurut mantan Kajati Riau Jambi itu, dalam Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi. Namun, Johanis akan mencoba menerapkan restorative justice dalam kasus korupsi dengan menggunakan UU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Yaitu apabila BPK menemukan suatu kerugian keuangan negara, maka BPK akan memberikan kesempatan selama 60 hari kepada terduga koruptor untuk mengembalikkan kerugian negara. Dengan kembalinya uang negara, maka pembangunan dapat berlanjut.
Kemudian dirinya mengilustrasikan, sebuah pinjam uang di bank akan dikenakan bunga. Kemudian jika peminjam melakukan pelanggaran, maka akan dikenakan denda. Jadi selain membayar bunga, membayar denda juga.
Dengan demikian, ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, Johanis berharap pelaku mengembalikan uang yang diambil. Selain itu, si pelaku juga dikenakan denda.
Tiga Kali Lipat
Johanis mencontohkan, jika pelaku merugikan negara Rp 10 juta, maka orang tersebut harus mengembalikan uang ke negara sebesar Rp 20 juta. Sehingga dengan restorative justice pelaku dapat tidak diproses hukum. Tapi pelaku harus mengembalikan uang korupsi antara dua hingga kali lipat.
Pensiunan jaksa asal Toraja itu meyakini restorative justice akan memberikan efek jera. Dia mencontohkan kasus yang pernah menjerat Mike Tyson. Menurut dia, Mike Tyson pernah dipenjara. Di akhir masa penahanannya, Mike Tyson membayar denda untuk kebebasannya. Namun denda itu membuatnya kapok.
Setelah bebas Mike Tyson takut untuk mengulangi perbuatan kejahatan lagi. Menurut Johanis, Mike Tyson merasa capek mencari uang hanya untuk membayar denda atas kejahatannya.