Kamis, 23 Oktober 2025
Menu

Marcella Santoso dkk Didakwa Suap Hakim Rp40 Miliar di Kasus Vonis Lepas Migor

Redaksi
Junaedi Sabih, Legal Wilmar Muhammad Syafe'i, dan Boss Buzzer Adhiya Muzakki saat menghadapi sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 22/10/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Junaedi Sabih, Legal Wilmar Muhammad Syafe'i, dan Boss Buzzer Adhiya Muzakki saat menghadapi sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 22/10/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Tiga advokat dari firma hukum Ariyanto Arnaldo Law Firm, Marcella Santoso, Ariyanto Bakri, dan Junaidi Saibih didakwa telah memberi suap Rp40 miliar kepada para Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam pengurusan vonis lepas (onslag) dalam kasus tiga terdakwa korporasi di ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak goreng.

Selain ketiganya, satu tersangka lain yang juga didakwa memberikan suap yakni Legal dari Wilmar Group Muhammad Syafe’i. Adapun keempatnya bertindak mewakili tiga terdakwa korporasi korupsi korporasi minyak goreng atas nama terdakwa Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.

“Dengan maksud untuk mempengaruhi pengurusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili supaya majelis hakim PN Jakpus yang memeriksa dan memutuskan sidang perkara korupsi korporasi minyak goreng atau nama terdakwa Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group memberikan putusan lepas atau onslag,” kata Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung (JPU Kejagung) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 22/10/2025 malam.

Adapun para terdakwa didakwa memberikan uang tunai dalam bentuk mata uang US$2.500.000 atau senilai Rp40 miliar kepada eks Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Pengganti PN Jakut Wahyu Gunawan dan tiga Majelis Hakim Tipikor yang mengadili perkara tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

Adapun uang tersebut diberikan dalam dua tahap yakni pada pemberian pertama sebesar US$500.000 atau setara dengan Rp8 miliar, di mana Arif memperoleh US$3.300.000; Wahyu memperoleh US$600.000, Djuyamto memperoleh US$1.700.000, serta Agam dan Ali masing-masing memperoleh US$1.100.000.

Sedangkan pemberian kedua diberikan dalam bentuk uang tunai sebesar US$2.000.000 atau sebesar Rp32 miliar yang diberikan secara bertahap; di mana Arif memperoleh pecahan US$ senilai Rp12,4 miliar; Wahyu mendapat US$100.000 atau senilai Rp1,6 miliar; Djuyamto memperoleh pecahan US$ senilai Rp7,8 miliar; sedangkan Agam dan Ali masing-masing memperoleh pecahan US$ senilai Rp5,1 miliar.

Adapun total yang di dapatkan para hakim melalui suap vonis lepas yang diberikan Marcella dkk ini ialah, Arif menerima sebanyak Rp15,7 miliar; Wahyu mendapat Rp2,4 miliar; Djuyamto mendapat Rp9,5 miliar; dan dua hakim anggota lain masing-masing mendapat total Rp6,2 miliar.

Dalam prosesnya, Marcella Santoso dan Junaidi menjalankan rekayasa dengan mengajukan gugatan perdata ke PN Jakpus sebagai tindak lanjut rekayasa yang telah disepakati dengan tiga terdakwa korporasi yang akan digunakan sebagai pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tipikor minyak goreng.

Setelahnya, Ariyanto menyerahkan uang sebesar US$500.000 senilai Rp8 miliar kepada Wahyu untuk diserahkan kepada Arif selaku Wakil Ketua PN Jakpus untuk mengawal perkara korporasi migor agar dibantu semaksimal mungkin.

Jaksa lantas menyebut bahwa Marcella melakukan pertemuan dengan Syafe’i. Di mana dalam pertemuan terungkap bahwa Syafe’i selaku Legal Wilmar sudah menyiapkan uang putusan bebas korporasi sebesar Rp20 miliar.

Jaksa juga membeberkan soal pertemuan antara Ariyanto, Wahyu dan Arif yang menyampaikan adanya putusan perkara TUN, gugatan perkara perdata, dan rekomendasi Ombudsman yang dapat dijadikan pertimbangan dalam perkara korporasi migor.

Dalam pertemuan itu, kata jaksa, Ariyanto meminta Arif untuk serius memberikan putusan onslag. Namun, Arif saat itu tidak setuju jika hanya diberi Rp20 miliar, melainkan Rp60 miliar yang nantinya dibagikan kepada para majelis hakim.

Permintaan tersebut lantas disampaikan Ariyanto kepada Marcella yang kemudian disampaikan ke Syafe’i untuk menyiapkan uang sejumlah Rp60 miliar dan menyerahkannya kepada Ariyanto.

Setelahnya, Legal Wilmar tersebut menemui suami Marcella untuk menyerahkan uang Rp60 miliar. Namun, ketiganya justru memisahkan uang di mana Rp32 miliar akan diberikan ke Arif, dan sisanya Rp28 miliar dalam penguasaan ketiganya.

“Kemudian Ariyanto dan Marcella Santoso memisahkan uang pecahan US$100 senilai Rp32 miliar untuk diberikan kepada mejelis hakim melalui Wahyu Gunawan dan M. Arif Nuryanta. Sedangkan sisanya senilai kurang lebih Rp28 miliar, berada dalam penguasaan terdakwa M. Syafe’i, Ariyanto, dan Marcella Santoso,” kata jaksa.

Uang tersebut akhirnya diberikan kepada Arif dan Wahyu untuk pengurusan vonis lepas kasus minyak goreng. Arif setelahnya memanggil tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut dan mengatakan bahwa uang titipan dari tim hukum korporasi telah ia pegang. Usai agenda pembuktian, Arif menanyakan proses perkembangan kasus tersebut, dan Djuyamto mengatakan bahwa majelis sepakat untuk memutus perkara minyak goreng dengan putusan onslag (vonis lepas) sebagaimana diminta oleh terdakwa korporasi.

JPU mengungkapkan, terdakwa M. Syafe’i bersama Ariyanto, Marcella Santoso, dan Junaidi Saibih diduga menjadi perantara yang mewakili kepentingan tiga korporasi besar, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Mereka disebut mengetahui dan menyadari adanya pemberian uang tunai sebesar US$2,5 juta atau sekitar Rp40 miliar kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi migor. Uang tersebut diduga diserahkan kepada hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom melalui perantara Wahyu Gunawan dan Muhammad Arif Nuryanta agar memberikan vonis lepas.

“Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi korporasi migor yang diserahkan kepada Majelis Hakim Djuyamto, Agan Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom untuk diadili dan diputus dengan putusan onslag van alle recht vervolging (lepas),” kata jaksa.

JPU mendakwa Marcella Santoso dan Ariyanto dengan pasal berlapis, yakni Pasal 6 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf a, atau Pasal 13 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu, keduanya juga dijerat dengan Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sementara itu, Junaidi Saibih didakwa melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf a, atau Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Adapun M. Syafe’i didakwa dengan ketentuan serupa, namun juga dijerat Pasal 56 KUHP, serta pasal-pasal dalam UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010, yakni Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi