Minggu, 19 Oktober 2025
Menu

Pengamat: Pesantren Cerminkan Budaya

Redaksi
Ilutrasi Pesantren | Ist
Ilutrasi Pesantren | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pengamat Sosial Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Abdul Hakim, menilai salah satu tayangan televisi nasional baru-baru ini telah menampilkan citra pesantren dan kiai secara dangkal dan keliru.

Menurutnya, tayangan tersebut menggambarkan pesantren sebagai ruang gelap yang penuh kekuasaan spiritual, sementara sosok kiai ditampilkan sebagai figur kolot dan manipulatif.

“Yang muncul bukan kritik sosial yang berimbang, melainkan pengulangan prasangka lama bahwa pesantren adalah institusi feodal berbaju agama,” kata Abdul Hakim kepada Forum Keadilan, Minggu, 19/10/2025.

Ia menyebut, cara pandang semacam itu menunjukkan ketidaktahuan mendasar terhadap realitas sosial pesantren. Dalam perspektif antropologi, lanjutnya, pesantren justru merupakan lembaga yang memiliki nilai-nilai sosial dan spiritual yang tinggi.

“Pesantren bukan ruang tirani, melainkan sistem nilai yang telah berabad-abad membentuk karakter moral masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Abdul Hakim menambahkan, pesantren berperan sebagai laboratorium sosial yang menanamkan disiplin, solidaritas, dan spiritualitas. Dalam tradisi itu, penghormatan kepada kiai lahir dari cinta dan keteladanan, bukan dari ketakutan atau kekuasaan.

Ia menilai penting untuk membedakan antara sistem pesantren dan sistem feodal. Menurutnya, keduanya berdiri di kutub yang berlawanan secara moral dan epistemologis.

“Pesantren mengajarkan ilmu dan adab, sedangkan feodalisme menanamkan kekuasaan dan ketundukan. Satu membentuk manusia merdeka secara spiritual, yang lain membentuk manusia patuh secara struktural,” tutur Abdul Hakim.

Abdul Hakim mengajak publik untuk memahami pesantren secara utuh melalui pendekatan antropologi budaya, bukan sekadar melalui representasi di layar kaca.

Dalam praktik keseharian, kata dia, pesantren juga menanamkan nilai kesetaraan dan kerja sosial yang berbasis ibadah, mulai dari membersihkan halaman hingga membantu masyarakat sekitar.

“Santri bekerja bersama bukan demi keuntungan material, tetapi untuk menanamkan kebersamaan dan tanggung jawab moral,” ujarnya.

Ia menegaskan, di tengah dunia yang semakin materialistik, nilai-nilai pesantren justru menawarkan alternatif etika.

“Pengetahuan tanpa adab adalah kegelapan, dan ketaatan tanpa keikhlasan adalah kehampaan. Pesantren menolak feodalisme bukan dengan revolusi kekerasan, tapi dengan revolusi moral dan spiritual,” pungkasnya.*