PBHI Soroti Masalah TNI-Polri di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo–Gibran

FORUM KEADILAN – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyoroti sejumlah persoalan di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang jatuh pada 20 Oktober 2025.
Dalam catatannya, PBHI menilai, praktik di tubuh TNI dan Polri masih menunjukkan penyimpangan dari prinsip profesionalisme dan reformasi sektor keamanan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBHI Gina Sabrina mengatakan, persoalan utama di tubuh TNI berkaitan dengan implementasi Undang-Undang (UU) TNI yang justru menjadi legitimasi bagi praktik-praktik di luar tugas pokok pertahanan.
“Undang-Undang TNI adalah jalan legitimasi, jalan karpet merah untuk membenarkan praktik-praktik tersebut dan ini tentu berimplikasi besar terhadap profesionalisme TNI,” ujar Gina saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Jumat, 17/10/2025.
Menurutnya, TNI kini banyak terlibat dalam kegiatan di luar tugas pertahanan, dengan dalih operasi militer selain perang (OMSP). Ia mencontohkan keterlibatan aparat TNI dalam program makan bergizi gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah.
“Sayangnya OMSP kemudian dikaburkan maknanya dan itu menjadi dalil bagi TNI untuk melakukan tugas-tugas di luar tugas pokok mereka seperti misalnya makan bergizi gratis,” tambahnya.
PBHI juga mencatat keterlibatan TNI dalam program MBG di seluruh 38 daerah. Dalam temuan tersebut menunjukkan bahwa TNI tidak hanya hadir di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), melainkan juga di wilayah perkotaan.
“Dari 38 daerah yang kami pantau, TNI terlibat di 32 daerah perkotaan. Hanya enam di antaranya yang masuk kategori 3T,” ungkap Gina.
Ia menilai, meskipun keterlibatan TNI di daerah 3T dapat dimaklumi, seharusnya peran itu bersifat temporer dan beralih ke tata kelola sipil setelah situasi memungkinkan.
Selain soal TNI, PBHI juga menyoroti lambannya reformasi Polri. Gina menyebut, pembentukan tim reformasi Polri sejauh ini belum menunjukkan inisiatif nyata dari institusi itu sendiri, melainkan hanya reaksi atas peristiwa tertentu.
“Tim Reformasi Polri itu bukan inisiatif mandiri, tapi muncul karena ada peristiwa pemantik,” katanya.
Ia menilai, paradigma Polri dalam pengendalian massa masih berorientasi pada pendekatan kekerasan dan represif. PBHI mendorong perubahan pola pikir agar polisi memandang massa aksi bukan sebagai musuh, melainkan warga yang harus dilindungi.
“Jadi mereka harus mengubah paradigma sebenarnya soal pengendalian massa itu bukan dianggap musuh, tapi mereka hanya berjaga. Dan kalaupun misalnya ada tindakan anarkis, sifatnya hanya melumpuhkan, tidak membunuh. Seharusnya momentum kemarin itu menjadi ajang refleksi,” ujarnya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi