Jumat, 17 Oktober 2025
Menu

Setahun Prabowo: Di Bawah Bayang Kekuasaan Lama

Redaksi
Ilustrasi Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) | Fajar Putra Ramadhan/Forum Keadilan
Ilustrasi Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) | Fajar Putra Ramadhan/Forum Keadilan
Bagikan:

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra

 

Pemerhati Intelijen

 

FORUM KEADILANSetahun setelah dilantik, pemerintahan Prabowo Subianto masih berjalan di jalan yang sama yakni penuh kehati-hatian, tapi kehilangan keberanian. Euforia kemenangan 2024 yang sempat dipuja sebagai titik balik demokrasi, kini terasa meredup. Di bawah kendali Presiden baru, aroma kekuasaan lama justru masih kuat menempel.

Sejak awal, kemenangan Prabowo bukan semata kemenangan politik, melainkan hasil dari simbiosis yang rumit. Jokowi bukan lagi Presiden, tapi bayangannya masih berkelindan di balik tirai istana. Cawe-cawe politik yang dulu disamarkan atas nama stabilitas kini menjelma menjadi benang kusut yang membelit ruang gerak kekuasaan baru. Seperti kata Machiavelli, “setiap pangeran yang mewarisi kekuasaan harus siap memerangi bayangan masa lalu sebelum melawan musuh-musuh barunya”.

Namun yang terjadi, Prabowo justru terlihat terkurung dalam labirin warisan kekuasaan itu. Reformasi hukum yang dijanjikan tak kunjung lahir. Penataan ulang Polri dan TNI belum dimulai. Sementara wacana pemberantasan korupsi terhadap lingkaran elite lama hanya bergema di udara, tanpa tindak nyata.

Data ekonomi juga belum menggembirakan. Pertumbuhan masih berkisar 4,9 persen (BPS, 2025); kemiskinan naik menjadi 9,7 persen; dan ketimpangan sosial tetap menganga. Infrastruktur memang berdiri, tapi tak banyak mengubah nasib rakyat di pinggiran. Di banyak tempat, pembangunan hanya jadi monumen diam dari ambisi masa lalu.

Prabowo memimpin negeri yang menaruh harapan besar kepadanya, namun juga menagih keberanian untuk memutus rantai lama yang selama ini mengikat republik. Sayangnya, di tahun pertama ini, keberanian itu tampak masih disimpan dalam laci, entah untuk waktu yang lebih tepat, atau karena takut membuka babak pertarungan yang sebenarnya.

Politik Kesabaran dan Ujian Sejarah

Bagi sebagian pengamat, sikap berhitung Prabowo adalah strategi. Ia tengah membaca peta kekuasaan yang masih dikuasai jaringan lama yaitu para loyalis Solo di kepolisian dan militer, kelompok relawan yang tetap aktif di akar rumput, serta pasukan digital yang menjaga mitos Jokowi di dunia maya. Kekuasaan di Indonesia, sebagaimana sering terjadi, tak pernah benar-benar berganti, hanya berganti wajah.

Namun, sejarah tidak memberi banyak waktu bagi pemimpin yang ragu. Politik kesabaran bisa berubah menjadi politik kehilangan momentum. Publik menunggu keputusan besar yang menandai arah baru republik berupa keberanian untuk merombak struktur kekuasaan lama dan mengembalikan negara ke pangkuan rakyat.

Plato dalam The Republic menulis bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang menundukkan kekuasaan demi kebenaran. Dalam konteks hari ini, ujian itu tampak nyata di hadapan Prabowo. Apakah ia berani menegakkan keadilan meski harus berhadapan dengan dinasti yang membantunya naik, atau memilih diam agar kekuasaannya aman dari badai politik?

Bangsa ini sudah terlalu sering menjadi penonton di panggung kekuasaan yang sama. Setiap pergantian pemerintahan membawa harapan baru, tapi berakhir dengan wajah lama dalam kostum berbeda. Prabowo, dengan seluruh karisma dan sejarah panjangnya, sebenarnya punya modal untuk mematahkan siklus itu. Tapi modal tanpa keberanian hanya akan menjadi mitos.

Setahun berlalu, dan sejarah belum mencatat langkah besar dari istana. Yang terdengar baru gema langkah hati-hati seorang presiden yang masih menimbang antara kesetiaan dan perubahan. Jika tahun-tahun berikutnya tetap begini, Prabowo akan dikenang bukan sebagai presiden yang memulihkan bangsa, melainkan sebagai penguasa yang tersesat di bawah bayang kekuasaan lama.*