Selasa, 14 Oktober 2025
Menu

Mengenal Performative Male dan Tekanan Jadi Sempurna di Dunia Digital

Redaksi
Ilustrasi Pria membaca buku | Ist
Ilustrasi Pria membaca buku | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Belakangan ini, istilah performative male semakin sering muncul di media sosial. Fenomena ini menggambarkan laki-laki yang menampilkan citra tertentu demi mendapatkan validasi, bukan karena hal tersebut benar-benar mencerminkan dirinya. Dalam dunia yang serba digital, di mana citra diri bisa diatur dan disunting dengan mudah, perilaku ini menjadi semakin mudah dikenali—dan juga semakin sering terjadi.

Istilah performative man berasal dari kata “performative”, yang berarti bersifat pertunjukan atau dilakukan untuk menunjukkan sesuatu, bukan karena niat yang tulus. Dengan kata lain, ini adalah bentuk “acting” dalam kehidupan nyata, terutama dalam konteks menjadi laki-laki yang dianggap ideal oleh masyarakat atau media sosial.

Seperti Apa Sosok Performative Man Itu

Seorang performative male sering terlihat berusaha keras menampilkan sisi maskulin yang kuat, dominan, dan “sempurna”. Namun di balik itu, ada keinginan besar untuk mendapatkan pengakuan.

Beberapa ciri yang sering muncul antara lain:

1. Over-sharing soal pencapaian pribadi. Misalnya, terlalu sering menonjolkan kesuksesan atau fisik di media sosial, bukan karena bangga, tapi karena ingin dikagumi.

2. Berusaha terlihat “gentleman”, tapi hanya saat dilihat orang. Ia sopan, perhatian, atau romantis ketika ada audiens, bukan karena tulus peduli.

3. Menggunakan narasi empati sebagai alat. Ia mungkin terlihat mendukung isu-isu sosial atau feminisme, tapi lebih untuk menaikkan citra diri ketimbang benar-benar memahami maknanya.

4. Takut dianggap lemah. Ia menjaga citra kuat dan tegas, meski dalam hati sedang tidak baik-baik saja.

Sederhananya, performative male lebih fokus pada bagaimana ia terlihat, bukan siapa dirinya sebenarnya.

Akar Budaya di Balik Fenomena Ini

Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Masyarakat modern menaruh tekanan besar pada laki-laki untuk tampil sempurna—sukses, rasional, punya pengaruh, dan mampu melindungi. Dalam budaya digital, tekanan ini semakin kuat karena semua orang bisa melihat dan menilai.

Media sosial berperan besar dalam membentuk tren ini. Platform seperti Instagram, X (Twitter), dan TikTok menciptakan ruang di mana validasi datang dari likes, views, dan komentar positif. Banyak laki-laki akhirnya membangun persona yang bisa diterima publik—bahkan jika itu bertolak belakang dengan jati diri mereka.

Dampak pada Kesehatan Mental dan Relasi

Menjadi performative male bisa tampak “keren” di permukaan, tapi sebenarnya melelahkan. Terlalu sering berpura-pura justru bisa menimbulkan stres, rasa cemas, bahkan kehilangan arah identitas.

Dalam hubungan personal pun, perilaku ini sering membuat komunikasi terasa tidak tulus. Pasangan, teman, atau rekan kerja mungkin merasa ada “jarak emosional” karena interaksi yang dibangun lebih berfokus pada pencitraan daripada keterhubungan yang jujur.

Lambat laun, hal ini dapat menimbulkan kesepian, rasa tidak cukup, dan tekanan batin—sebuah ironi di tengah citra sempurna yang ditampilkan.

Mengembalikan Esensi Keaslian

Untuk keluar dari lingkaran ini, kuncinya adalah authenticity—menjadi diri sendiri tanpa perlu merasa harus membuktikan apa pun. Laki-laki perlu ruang untuk mengekspresikan emosi tanpa takut dicap lemah. Begitu pula masyarakat perlu berhenti menilai maskulinitas berdasarkan standar dangkal.

Menunjukkan empati, kelembutan, atau bahkan kerentanan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya.

Performative male adalah cerminan dari tekanan sosial yang kompleks di era digital. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa keaslian jauh lebih berharga daripada pencitraan. Dunia mungkin terus menuntut kesempurnaan, tapi menjadi manusia yang jujur—dengan segala kekurangan dan kerentanannya—selalu akan lebih bernilai.*