Abuse of Law dan Mafia Pupuk

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Ketika kanal podcast Roemah Pemoeda Podcast yang dipandu Ilham Rasul menghadirkan Kisman Latumakulita sebagai narasumber, publik disuguhi diskusi tajam tentang carut-marut pengelolaan PT Pupuk Indonesia. Audit independen menemukan adanya kerugian Rp8,3 triliun, angka yang mencengangkan bagi perusahaan pelat merah yang memegang peranan vital dalam rantai pangan nasional. Kritik itu berangkat dari logika sederhana bahwa pupuk adalah jantung pertanian Indonesia. Sekitar 65-75 persen aktivitas pertanian bergantung pada ketersediaan dan distribusi pupuk. Bila sistem distribusinya dikuasai oleh kepentingan pribadi, maka cita-cita swasembada pangan akan berubah menjadi utopia.
Namun, percakapan yang seharusnya menjadi ruang publik untuk koreksi justru berubah menjadi bumerang hukum. Dalam tayangan tersebut, narasumber menyebut Nurlia Sulaiman, pemilik CV Mulia, yang disebut-sebut sebagai adik Menteri Pertanian dan distributor pupuk di wilayah Indonesia timur. Alih-alih menanggapi dengan klarifikasi dan keterbukaan, Nurlia justru melaporkan Roemah Pemoeda ke Polda Sulawesi Selatan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penyerangan kehormatan pribadi.
Langkah hukum itu menjadi preseden berbahaya. Bukan hanya bagi kebebasan pers dan ruang diskusi publik, tetapi juga bagi integritas hukum itu sendiri. Sebab, hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan kini tampak digunakan sebagai tameng kekuasaan. Dalam literatur hukum, tindakan seperti ini disebut “abuse of law” yaitu penyalahgunaan instrumen hukum untuk tujuan membungkam kritik.
Padahal, Pasal 28F UUD 1945 dengan jelas menjamin hak setiap warga negara untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi. Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 menegaskan bahwa kritik yang disampaikan untuk kepentingan umum tidak dapat dikriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik. Dalam konteks ini, laporan terhadap Roemah Pemoeda jelas mengandung aroma represi terhadap kebebasan berpendapat.
Lebih jauh, dugaan keterlibatan keluarga pejabat dalam distribusi pupuk menyentuh ranah konflik kepentingan (conflict of interest) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bahkan menegaskan bahwa penyelenggara negara yang menggunakan kewenangannya untuk menguntungkan keluarga atau kerabat dapat dijerat pidana. Jika benar Nurlia memperoleh fasilitas sebagai distributor berkat posisi kakaknya sebagai Menteri Pertanian, maka dugaan pelanggaran etik dan hukum menjadi sangat kuat.
Sayangnya, alih-alih dibuka secara transparan, persoalan ini justru diarahkan pada kriminalisasi pihak yang mengungkap dugaan penyimpangan. Pola ini bukan baru: dari kasus kritik terhadap pejabat, dugaan korupsi BUMN, hingga laporan investigatif media, semuanya sering berujung pada penggunaan pasal karet UU ITE untuk membungkam suara publik.
Pepatah lama mengatakan, “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.” Tindakan melaporkan kritik justru mempertegas adanya persoalan yang hendak ditutupi. Publik kini menunggu apakah Menteri Pertanian berani bersikap objektif, atau justru membiarkan hukum menjadi alat untuk melindungi kepentingan pribadi.
Jika kritik yang berbasis data dan kepentingan publik terus dikriminalisasi, maka akal sehat akan mati lebih dulu daripada keadilan. Dan ketika hukum kehilangan nuraninya, maka demokrasi hanya tinggal panggung formalitas, dimana kebenaran kalah oleh kekuasaan.*