Selasa, 14 Oktober 2025
Menu

Ketika Kekuasaan Terlena dalam Pujian Semu

Redaksi
Makmur Sianipar | Ist
Makmur Sianipar | Ist
Bagikan:

Makmur Sianipar

Advokat  & Konsultan Hukum, Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and  Political  Leadership Development (Rebuild)

 

FORUM KEADILAN – Demonstrasi yang mengguncang Indonesia pada  akhir Agustus 2025 lalu bukanlah sekadar ekspresi kemarahan spontan. Unjuk rasa ini  merupakan  akumulasi dari kekecewaan yang telah lama terpendam, dari suara-suara yang tak didengar, dan dari luka sosial yang terus digores oleh kebijakan yang tak berpihak. Tuntutan pembubaran DPR menjadi simbol dari keresahan yang lebih dalam: ketimpangan antara beban yang ditanggung rakyat dan kemewahan yang dinikmati para wakilnya dan penguasa. DPR menjadi sasaran,  karena lembaga ini adalah representasi kepentingan dan suara rakyat yang dititipkan dalam pemilihan umum.

Di tengah hiruk-pikuk tuntutan itu, satu cerita klasik kembali relevan: dongeng tentang jubah mewah sang kaisar. Dalam cerita Hans Christian Andersen berjudul The Emperor’s New Clothes (1837) sang kaisar terobsesi pada pakaian baru yang mewah. Dua penipu mengaku mampu menjahit jubah yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang berhati  tulus dan jujur.  Tidak bisa  dilihat oleh  orang tak berpendirian, bodoh, atau tak kompeten. Takut dicap tidak tulus dan jujur, semua pejabat berpura-pura melihat keindahan jubah yang tak ada. Sang kaisar pun berpawai, telanjang, di tengah pujian palsu. Sampai seorang anak kecil berseru, “Kaisar telanjang!”

Dongeng itu kini terasa seperti cermin bagi realitas politik kita. Pemerintah meluncurkan berbagai program populis   seperti  makan bergizi gratis,  sekolah rakyat, dan  koperasi merah putih. Tujuannya terdengar mulia: Menuju Indonesia Emas 2045. Memastikan tidak ada anak sekolah  Indonesia yang kelaparan, stunting, putus sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, di balik retorika itu, anggaran negara tersedot dalam jumlah besar. Untuk menutupinya, rakyat dipaksa menanggung beban pajak yang semakin berat. Ironisnya, di saat rakyat berhemat untuk mengimbangi beban pajak, para anggota DPR justru menikmati kenaikan tunjangan perumahan yang fantastis. Mereka berjoget di ruang sidang, seolah tak ada badai di luar jendela. Para pejabat, seperti wakil menteri, mendapat jabatan tambahan sebagai komisaris BUMN yang semakin menggemukkan rekening mereka.

Ketika rakyat bersuara, mereka tidak hanya diabaikan. Mereka dihina. Pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut rakyat sebagai “tolol sedunia” menjadi titik balik.  Rakyat  pun turun ke jalan menyerukan  pembubaran DPR. Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi ledakan kemarahan. Sebelumnya di Pati, sikap arogan seorang bupati memicu protes. Namun DPR tidak belajar. Mereka malah menantang, menari di atas luka.

Dalam konteks Indonesia hari ini, sang kaisar  dalam cerita Andersen adalah metafora dari kekuasaan yang terlalu lama hidup dalam gema pujian. Para menteri dan lingkaran dalam presiden  menyajikan data yang terpoles angka statistik, ditambah  survei yang menguatkan citra dan prestasi. Semua demi menjaga ilusi. Penguasa pun percaya bahwa kebijakannya telah berada di jalan yang benar. Ia terus berpawai, memamerkan jubah yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang berhati  tulus dan jujur. Yang tidak melihatnya adalah orang-orang tak berpendirian, bodoh, tak kompeten, atau dalam konteks saat ini dicap sebagai pembenci, yang hanya bisa nyinyir.

Namun, suara “anak kecil” itu kini semakin lantang. Mereka adalah mahasiswa, intelektual, dan rakyat biasa yang berani berkata: “Kaisar telanjang.” Mereka tidak hanya berteriak. Mereka melemparkan batu, membakar ban, dan menuntut agar sang kaisar berhenti berpawai. Tapi pertanyaannya tetap: apakah sang kaisar akan mendengar? Ataukah ia akan terus melangkah, percaya bahwa jubahnya sungguh mewah dan berkilau?

Dalam sejarah politik Indonesia, kita telah berkali-kali menyaksikan bagaimana ilusi kekuasaan bisa menumpulkan nurani. Ketika kebijakan lebih didasarkan pada pencitraan daripada kebutuhan riil rakyat, maka yang lahir bukanlah kesejahteraan, melainkan ketimpangan. Ketika kritik dianggap ancaman, maka demokrasi kehilangan maknanya.

Kini, saat suara-suara bening mulai menggema, saat “anak-anak kecil” mulai berseru, penguasa punya dua pilihan: mendengar atau mengabaikan. Mendengar berarti membuka ruang dialog, mengevaluasi kebijakan, dan mengakui bahwa tidak semua program populis adalah solusi. Mengabaikan berarti terus berpawai, telanjang, di tengah sorakan yang semakin bising.

Yang menarik, dalam setiap krisis politik, selalu ada momen reflektif yang menentukan arah sejarah. Momen ketika penguasa harus memilih antara mempertahankan ilusi atau menghadapi kenyataan. Momen itu kini hadir di depan mata. Demonstrasi yang meluas beberapa waktu lalu bukan sekadar protes terhadap DPR, melainkan panggilan untuk meninjau ulang arah kebijakan negara.

Rakyat tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin didengar, bahwa jubah mewah itu hanya ilusi. Mereka ingin tahu bahwa penderitaan mereka bukan statistik, bahwa suara mereka bukan gangguan. Mereka ingin penguasa yang mampu melihat ke luar jendela istana, dan menyadari bahwa jubah mewah yang dipamerkan selama ini hanyalah bayangan.

Indonesia tidak kekurangan “anak-anak kecil” yang jujur dan  berani berseru. Selalu ada mahasiswa dan kelompok intelektual. Bahkan kasus keracunan MBG yang telah tembus melebihi 10.000 kasus, juga bisa dilihat sebagai  teguran dari si “anak kecil”. Yang sangat langka adalah penguasa yang cukup bijak untuk berhenti,  melihat ke cermin, dan bertanya: apakah jubah ini benar-benar ada?  Kita akan lihat ke depannya, apakah program-program yang kontroversial seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih dan Sekolah Rakyat dan program lainnya akan terus berjalan, atau akan ada evaluasi konprehensif. Semoga?!*