Indonesia Tanpa Ruh Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra
Pemerhati Intelijen
FORUM KEADILAN – Indonesia kerap digambarkan sebagai zamrud khatulistiwa, surga kecil yang diturunkan Tuhan ke Bumi. Gunungnya berlapis emas, lautnya menyimpan perak, hutan dan tanahnya penuh ratna mutu manikam. Namun, sebagaimana pepatah Latin yang berbunyi ‘abundantia semper indigentiae comes’ yaitu kelimpahan kerap beriringan dengan kemelaratan. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, rakyat tetap bergulat dengan kemiskinan, anak-anak putus sekolah, pengangguran yang menganga, dan harga kebutuhan pokok yang kian mencekik.
Reformasi yang pernah dielu-elukan kini terasa bagai drama panggung yang murahan. Demokrasi menjelma ritual lima tahunan untuk memilih siapa yang paling lihai berakting sederhana di depan kamera. Kekuasaan hanyalah tiket menuju meja jamuan oligarki, dimana rente lebih bergizi daripada idealisme. Korupsi sudah jadi semacam ibadah wajib, dan hukum bekerja layaknya centeng yang mengawal kepentingan penguasa. Bangsa ini tampak gagah dari jauh, tapi rapuh dari dekat seperti gedung berlapis kaca yang retak di dalam rangkaian besinya.
Namun sejarah Nusantara tidak selalu muram. Ada satu nama yang berpendar di lorong waktu, Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh Darussalam (1607–1636). Ia naik takhta di usia muda, justru ketika negerinya carut marut. Rakyat kelaparan karena bahan pangan ditimbun para ulee balang, bangsawan, dan pedagang rakus. Kekuasaan tercerai-berai di tangan para elite istana, kudeta politik silih berganti, dan rakyat hanya jadi abu di bawah bara perebutan tahta.
Sultan Iskandar Muda menjawab kekacauan itu bukan dengan kompromi, melainkan dengan ketegasan yang hampir terdengar otoriter. Ia menyita lumbung pangan kaum kaya untuk dibagi rata ke rakyat. Ia mengembalikan kedaulatan kerajaan ke tangan sultan, bukan para bangsawan. Ia menegakkan hukum tanpa pandang bulu dimana bangsawan yang membangkang dipancung, ulee balang yang menyeleweng dipenggal. Bahkan ketika putra mahkota, Meurah Pupok, terbukti bersalah, ia rela darah dagingnya sendiri dirajam. Ucapannya abadi hingga kini bawa “Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita (Mati anak ada kuburnya, mati adat tiada gantinya)”.
Di balik kata itu, tersembunyi filsafat kepemimpinan yang nyaris asing di negeri ini, bahwa hukum lebih sakral dari keluarga, dan keadilan lebih mulia daripada tahta. Keberanian seperti inilah yang membuat Aceh Darussalam disegani hingga ke Johor, Malaka, bahkan Istanbul. Dari ujung barat Sumatra, sebuah kerajaan kecil berdiri tegak melawan gelombang kolonialisme dan intrik bangsawan.
Mari bayangkan jika hari ini kita mewawancarai Sultan Iskandar Muda. Barangkali ia akan menatap getir melihat Indonesia modern sebagai negeri kaya raya yang dikuasai segelintir konglomerat, negeri demokrasi yang lebih sibuk menata pencitraan daripada menegakkan keadilan. Ia mungkin akan berkata, “kezaliman itu bukan semata karena rakyat miskin, tetapi karena hukum tidak ditegakkan. Pemimpin yang ragu menegakkan kebenaran demi keluarganya adalah pemimpin yang sesat lagi menyesatkan”.
Hadis Nabi yang pernah ia kutip pun kembali relevan dengan kondisi terkini “yang paling aku khawatirkan atas umatku bukanlah dajjal, melainkan pemimpin yang menyesatkan”. Betapa tepat hadis itu menggambarkan zaman ini, ketika kekuasaan diwariskan bak pusaka keluarga, dan hukum dinegosiasikan seperti barang lelangan.
Iskandar Muda akan heran melihat rakyat di sekitar tambang emas terbesar Papua masih hidup miskin, sementara keuntungan mengalir ke luar negeri. Ia akan terkejut melihat cadangan nikel terbesar dunia justru dikangkangi oligarki yang duduk nyaman di lingkaran kekuasaan. Ia akan geram menyaksikan permainan harga beras oleh para konglomerat pangan, sementara pemerintah hanya menjawab dengan jargon kedaulatan pangan. Ia akan kecewa melihat hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas yang lebih lentur daripada rotan yang ia gunakan untuk mendisiplinkan bangsawan.
Indonesia hari ini pada dasarnya menghadapi krisis yang sama seperti Aceh empat abad lalu, dimana pangan, energi, dan hukum dikangkangi oligarki. Bedanya, kita saat ini tak lagi punya Iskandar Muda. Kita hanya punya barisan pemimpin yang tampak sederhana di kamera, tapi rakus di meja perundingan. Pemimpin yang sibuk menyiapkan dinasti politik ketimbang memikirkan masa depan rakyatnya.
Sejarah bukanlah cermin yang memberi wajah baru, melainkan kaca retak yang memantulkan bayangan kita sendiri. Ketika kita bercermin pada Iskandar Muda, yang terlihat bukanlah kemegahan masa lalu, melainkan kerapuhan hari ini. Jika bangsa ini terus membiarkan hukum dinegosiasikan, kekuasaan diperdagangkan, dan kepemimpinan diwariskan sebagai pusaka, maka jangan salahkan sejarah bila Indonesia hanya tercatat sebagai negeri kaya yang gagal sejahtera.
Bangsa ini butuh pemimpin yang berani berkata, “Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita”. Bukan pemimpin yang berkata, “Asal keluarga selamat, hukum bisa dinegosiasikan”. Indonesia tanpa Iskandar Muda adalah Indonesia yang berjalan tanpa kompas, kaya raya namun kehilangan arah, besar tubuhnya tetapi rapuh jiwanya.*