Rabu, 01 Oktober 2025
Menu

Ombudsman Menemukan Yayasan MBG Terafiliasi Politik

Redaksi
Peninjauan langsung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) di SD Jati 03, Jakarta, pada Rabu, 7 Mei 2025| BPMI Setpres/Laily Rachev
Peninjauan langsung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) di SD Jati 03, Jakarta, pada Rabu, 7 Mei 2025| BPMI Setpres/Laily Rachev
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ombudsman RI mengungkapkan ada potensi afiliasi sejumlah yayasan pelaksana program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan jejaring politik.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan bahwa kondisi ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang.

“Kajian Ombudsman juga mengidentifikasi adanya potensi afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik yang berisiko menimbulkan konflik kepentingan, serta membuka peluang penyalahgunaan wewenang,” ujar Yeka dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Pusat, Selasa, 30/9/2025.

Yeka tak memberikan informasi lebih detail mana hingga daerah apa saja yang terindikasi mempunyai keterkaitan politik tersebut.

Menurutnya, situasi ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan program berskala nasional harus dijalankan secara transparan, adil, dan bebas dari intervensi politik agar tujuan utama program, yaitu memperbaiki gizi masyarakat, dapat tercapai secara optimal.

Permasalahan afiliasi politik ini muncul dengan bersamaan dengan carut-marut proses penetapan mitra yayasan dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG.

Dari total 60.500 yayasan yang mendaftar, masih terdapat 9.632 yayasan menunggu kepastian.

Ketiadaan standar waktu pelayanan membuat proses verifikasi berjalan berlarut-larut, sehingga menurunkan kepastian hukum bagi pendaftar.

Ombudsman menilai bahwa keterkaitan yayasan dengan jejaring kekuasaan berpotensi menggeser orientasi program dari fokus utama pada perbaikan gizi kearah kepentingan yang lebih sempit.

Bila tidak diantisipasi sejak dini dengan regulasi yang jelas, maka mekanisme seleksi transparan, serta pengawasan independen, kondisi ini dapat melahirkan maladministrasi struktural yang menghambat efektivitas program.

Berdasarkan kajiannya, Ombudsman mencatat ada delapan masalah utama dalam penyelenggaraan MBG. Pertama, kesenjangan lebar antara target dan realisasi capaian. Kedua, banyaknya kasus keracunan massal di berbagai daerah.

Ketiga, permasalahan penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan dan rawan konflik kepentingan. Keempat, keterbatasan dan penataan sumber daya manusia (SDM), termasuk keterlambatan honorarium beserta beban kerja guru dan relawan.

Kelima, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas. Keenam, penerapan standar pengolahan makanan yang belum konsisten.

“Kajian Ombudsman juga mengidentifikasi adanya potensi afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik yang berisiko menimbulkan konflik kepentingan, serta membuka peluang penyalahgunaan wewenang,” ujar Yeka dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Pusat, Selasa, 30/9.

Ombudsman menilai penguatan tata kelola menjadi langkah krusial agar program MBG tidak keluar jalur.*