Jumat, 07 November 2025
Menu

ICW Ingatkan 5 Catatan Kritis dalam Pembahasan RUU Perampasan Aset

Redaksi
Kepala Divisi Hukum ICW Wana Alamshah dalam diskusi Iwakum di Jakarta, Jumat, 19/9/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Kepala Divisi Hukum ICW Wana Alamshah dalam diskusi Iwakum di Jakarta, Jumat, 19/9/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset perlu dibahas kembali secara serius dan melibatkan partisipasi publik. Ketua Divisi Hukum ICW Wana Alamsyah, menyebut setidaknya ada lima catatan penting yang harus menjadi perhatian pemerintah maupun DPR.

“Kalau dari catatan kami, paling tidak ada lima hal yang perlu dijadikan sebagai pertimbangan pemerintah dan juga DPR untuk melakukan lagi pembahasan yang meaningful participation,” ujar Wana dalam diskusi publik Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta, Jumat, 19/9/2025.

Hal pertama, kata Wana, RUU Perampasan Aset perlu memuat norma tambahan terkait illicit enrichment atau kekayaan tak wajar. Hal ini penting agar jelas siapa subjek hukum yang akan dikenakan mekanisme pembuktian terbalik.

“Di dalam aturannya ini tidak dijelaskan setiap orang, tapi ketika membaca aturan tersebut rasanya ini nanti yang jadi potensial untuk patut juga, disalahgunakan, sehingga subjeknya ini harus jelas. Jadi subjeknya ini akan jelas siapa sebenarnya yang nantinya akan dilakukan proses pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan yang tidak wajar,” ucapnya.

Wana juga menyoroti kecenderungan pembahasan RUU yang lebih menekankan pada Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) alias perampasan aset tanpa putusan pengadilan dibanding illicit enrichment. Menurutnya, aspek hukum acara terkait illicit enrichment perlu turut diatur.

Selain itu, terkait threshold atau ambang batas, Wana menilai aturan dalam Pasal 6 RUU masih perlu ditinjau. Saat ini, aset yang bisa dirampas minimal bernilai Rp100 juta atau berkaitan dengan tindak pidana yang diancam empat tahun penjara.

ICW menilai, batasan itu belum relevan jika dibandingkan dengan potensi kerugian negara maupun perkembangan KUHP terbaru yang mengatur korupsi dengan ancaman minimal dua tahun penjara.

Di sisi lain, ICW juga menekankan perlunya pembatasan norma agar fokus pada kejahatan terorganisasi dan bermotif ekonomi, seperti korupsi, narkotika, perdagangan orang, hingga terorisme. Wana mengingatkan jangan sampai RUU dijadikan alat kriminalisasi.

“Nah ini yang bagi kami penting untuk dibatasi juga. Jangan sampai, misalkan, dikhawatirkan, RUU Perampasan Aset ini akan dijadikan motif kriminalisasi bukan untuk kejahatan publik atau kasus-kasus yang memang itu patut diduga terkait dengan kejahatan terorganisir,” ucapnya.

ICW mengingatkan soal kewenangan besar yang diberikan kepada Kejaksaan dalam pengelolaan aset rampasan. Wana menilai perlu ada mekanisme check and balances, misalnya dengan melibatkan lembaga lain dalam proses penyimpanan dan pemeliharaan aset.

Lebih lanjut, Wana menilai, wacana percepatan RUU Perampasan Aset tidak lepas dari konteks politik. Ia menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang sudah tiga kali menyinggung soal perampasan aset, yang diduga hanya untuk meredam amarah publik.

Menurutnya, tanpa pembahasan terbuka dan mekanisme yang adil, RUU Perampasan Aset justru berpotensi tidak efektif.

“Bukan hanya kelompok rentan yang harus terkena, tapi pejabat publik dengan tabiat tidak baik juga harus diproses,” tegasnya.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi