Kriminolog: Fenomena Hilang Mendadak Tak Selalu Sebagai Tindak Kriminal
FORUM KEADILAN – Kriminolog Haniva Hasna menilai, fenomena seseorang yang mendadak hilang tanpa kabar tidak selalu bisa dibaca sebagai tindak kriminal. Hal ini menanggapi soal hilangnya dua orang demonstran akhir Agustus lalu, yakni Bima Permana Putra dan Eko Purnomo.
Diketahui, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui akun media sosialnya, menyebutkan bahwa dua orang tersebut telah ditemukan Kepolisian Polda Metro Jaya. Keduanya diketahui meninggalkan rumah atas keinginan sendiri karena ingin hidup mandiri.
“Ketika seseorang pergi tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan alasan sederhana, misalnya ingin hidup mandiri, maka pertanyaannya bukan sekadar wajar atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membacanya dari sudut kriminologi,” ujar Haniva kepada Forum Keadilan, Jumat, 19/9/2025.
Secara sosiologis, kata Haniva, keinginan hidup mandiri adalah hal yang sah dan lumrah. Banyak individu ingin lepas dari bayang-bayang keluarga untuk membangun jalan hidup sendiri. Akan tetapi, cara yang ditempuh menghilang mendadak di tengah situasi sosial yang sensitif membuat perilaku itu tampak sebagai anomali.
“Ia tidak bisa langsung dikategorikan kriminal, tapi jelas menyimpang dari norma umum. Itu sebabnya publik merasa ada yang janggal,” katanya.
Berdasarkan kerangka strain theory ala Robert Merton, Haniva menjelaskan bahwa seseorang yang merasa terbebani oleh tekanan ekonomi, keluarga, atau lingkungan, dapat memilih ‘jalan kabur’ sebagai bentuk escape mechanism (mekanisme pelarian).
“Bukan sekadar pergi, tapi berusaha memutus hubungan dengan sumber tekanan,” jelasnya.
Haniva juga menyoroti mengenai bahaya pelabelan yang terburu-buru. Di kasus orang hilang pasca demonstrasi, publik mudah sekali menempatkan seseorang sebagai korban penghilangan paksa. Padahal, kata dia, motifnya bisa jadi sangat personal dan tidak terkait politik.
“Di sinilah teori labeling bekerja. Risikonya, terjadi moral panic. Publik panik, aparat ditekan, dan realitas personal bercampur dengan narasi sosial yang lebih besar,” paparnya.
Sehingga penting bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi isu orang hilang. Meski dinilai wajar jika seseorang ingin mencari kemandirian, tetapi cara yang ekstrem pergi tanpa kabar justru menimbulkan salah paham dan membuka ruang bagi spekulasi liar.
“Jadi, kalau ditanya apakah wajar? Secara psikologis, iya. Banyak orang memang ingin mencari kemandirian. Tetapi secara sosial, cara ini janggal, karena justru menimbulkan salah paham dan membuka ruang bagi spekulasi yang liar,” tegasnya.
Meski cara membedakan orang yang hilang dengan yang pergi sukarela bukan perkara mudah, tetapi, ada sejumlah indikator yang bisa diperhatikan. Seperti, orang yang hilang murni jejaknya terputus. Kemudian, hilang kontak dan aktivitas berhenti secara tiba-tiba.
Sedangkan yang pergi secara sukarela cenderung punya pola persiapan. Misalnya, menjual aset, membawa barang, atau pindah kota dengan sengaja. Oleh karena itu, kepekaan membaca tanda sangat penting.
“Karena itu, informasi detil tentang kondisi terakhir orang tersebut menjadi kunci, apakah ini kasus kriminal, atau sekadar pilihan personal yang ekstrem,” tutupnya.
Sebelumnya, tim khusus gabungan Polda Metro Jaya berhasil menemukan dua pemuda yang dilaporkan hilang pasca aksi demo akhir Agustus, yakni Bima Permana Putra dan Eko Purnomo.
Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra menjelaskan, Bima dilaporkan hilang 6 September. Ternyata ia pergi ke Malang dengan alasan ingin hidup mandiri, sempat menjual motor di Tegal, lalu berjualan mainan barongsai di kawasan Kelenteng Lama.
Sementara itu, Eko dilaporkan hilang oleh ibunya pada 3 September. Belakangan diketahui ia bekerja di kapal penangkap ikan di perairan Kalimantan Tengah. Ia juga menyatakan ingin hidup mandiri.
Keduanya menegaskan tidak ikut aksi demo, hanya menonton. Bima dan Eko meminta maaf atas kegaduhan serta kekhawatiran keluarga akibat kepergian tanpa kabar.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah
