Selasa, 28 Oktober 2025
Menu

Pembentukan Tim Reformasi Polri Jangan Cuma Jadi Alat Legitimasi Mengganti Kapolri

Redaksi
Ilustrasi Polri. | Ist
Ilustrasi Polri. | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya untuk segera membentuk komisi evaluasi dan tim independen pencari fakta terkait penanganan aksi unjuk rasa 25-30 Agustus 2025. Pernyataan ini muncul usai pertemuan presiden dengan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang terdiri dari sejumlah tokoh bangsa dan lintas agama.

Pengamat kepolisian dari Indonesia Strategic and Security Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai bahwa pembentukan tim independen pencari fakta sangatlah krusial. Menurutnya, persoalan tindakan represif yang dilakukan aparat Polri selama aksi unjuk rasa tidak akan pernah bisa diselesaikan secara tuntas bila hanya mengandalkan mekanisme internal Polri.

“Fakta-fakta selama ini menunjukkan adanya bias kepentingan yang sangat besar bila menyangkut penanganan masalah yang melibatkan perilaku jajarannya sendiri,” katanya dalam keterangan, Jumat, 12/9/2025.

Selain itu, kata Bambang, pembentukan tim pencari fakta yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, yang benar-benar independen, sangat diperlukan untuk mendapatkan gambaran objektif sekaligus membangun kepercayaan publik.

“Makanya pembentukan tim independen pencari fakta yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat itu penting untuk segera dilakukan,” ucapnya.

Sejak reformasi 1998 dan disahkannya Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, reformasi kepolisian sebenarnya sudah menjadi janji besar pemerintah untuk mewujudkan institusi Polri yang profesional, akuntabel, humanis, dan berkeadilan. Namun, Bambang menyatakan bahwa realitas di lapangan jauh dari harapan.

“Reformasi yang berjalan selama ini bahkan cenderung menjauh dari cita-cita reformasi itu sendiri,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa reformasi Polri harus dipahami sebagai sebuah proses panjang, bukan hanya tujuan akhir yang dapat dicapai dengan pergantian pimpinan semata.

“Kalau pembentukan tim reformasi Polri hanya dijadikan alat untuk mempercepat pergantian Kapolri tanpa menyentuh akar masalah substansial dalam organisasi Polri, maka itu tidak lebih dari angin surga yang menyesatkan,” tegasnya.

Menurutnya, pergantian Kapolri pada dasarnya adalah hak prerogatif presiden yang dapat dilakukan kapan saja tanpa perlu legitimasi dari tim independen ataupun tim reformasi. Namun, untuk melakukan perubahan struktural dan budaya organisasi Polri secara mendasar, diperlukan reformasi yang jauh lebih dalam dan terencana.

“Pergantian Kapolri saat ini pada dasarnya hanya persoalan hak prerogatif presiden saja. Tidak memerlukan legitimasi dengan pembentukan tim independen maupun tim reformasi Polri,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan, salah satu aspek penting yang harus menjadi fokus reformasi adalah revisi UU Kepolisian. UU yang mengatur penempatan Polri langsung di bawah presiden dinilai menjadi salah satu akar masalah dalam menjaga independensi Polri.

“Penempatan ini memberi ruang besar bagi Polri untuk dijadikan alat politik kekuasaan presiden terpilih, mirip dengan situasi pada masa Orde Baru ketika Polri dan TNI berada di bawah satu atap yang sama,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa revisi UU Polri perlu menata ulang struktur organisasi dan sistem tata kelola kepolisian agar lebih profesional dan independen. Termasuk di dalamnya adalah memperkuat lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang selama ini masih dianggap lemah dan kurang independen dalam menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap Polri.

“Revisi UU Polri bukan untuk menambah kewenangan Polri, melainkan sebaliknya untuk membatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatkan akuntabilitas,” ujar Bambang.

Selain itu, Bambang mengakui bahwa reformasi Polri merupakan pekerjaan yang sangat berat karena resistensi dari kelompok pro status quo di internal institusi sangat masif dan terstruktur.

“Kelompok yang sudah nyaman dengan sistem saat ini tentu akan melakukan perlawanan keras terhadap perubahan mendasar, terutama yang menyangkut tata kelola dan mekanisme pengawasan,” katanya.

Oleh karena itu, Bambang menekankan pentingnya political will dari presiden sebagai motor penggerak utama reformasi. Presiden harus berani melibatkan berbagai elemen masyarakat yang benar-benar independen, bukan hanya akademisi atau pihak-pihak yang ‘pesanan’ yang sering kali menafikan realitas dan keinginan rakyat.

“Kalau tim reformasi yang dibentuk masih didominasi kepentingan politik ataupun kelompok pro status quo, maka reformasi itu tidak akan berjalan efektif,” tegasnya.

Bambang mengingatkan bahwa pergantian Kapolri hanyalah salah satu faktor kecil dalam perubahan institusi kepolisian.

“Siapa pun Kapolrinya, jika sistem dan struktur yang ada masih sama dan bermasalah, sulit bagi Kapolri baru untuk membawa perubahan signifikan,” ujarnya.

Menurutnya, perbaikan Polri harus didukung dengan visi negarawan yang kuat dari presiden. Jika presiden masih menggunakan Polri sebagai alat kekuasaan politik pragmatis, maka reformasi sejati sulit terwujud.

“Perbaikan Polri tidak cukup hanya dengan jargon ‘Reformasi Polri’, tapi harus ada tindakan nyata yang berani dan konsisten,” tutupnya.*

Laporan oleh: Ari Kurniansyah