Minggu, 14 September 2025
Menu

DPR/DPD Wajib Hadirkan Call Centre Rakyat Berbasis GRC: Dari Demokrasi Prosedural ke Demokrasi Substantif

Redaksi
Jerry Marmen, PhD Ketua Lembaga Sertifikasi Governance, Risk and Compliance, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta | Ist
Jerry Marmen, PhD Ketua Lembaga Sertifikasi Governance, Risk and Compliance, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta | Ist
Bagikan:

Jerry Marmen, PhD

Ketua Lembaga Sertifikasi Governance, Risk and Compliance,
Dosen FEB UPN Veteran Jakarta

FORUM KEADILAN – Demokrasi kita terlalu sering berhenti sebagai pesta lima tahunan: hiruk-pikuk di hari pemilu, lalu senyap begitu kotak suara ditutup. Suara rakyat yang seharusnya terus berdenyut meredup menjadi gema singkat di lorong birokrasi. Aspirasi yang terhalang berubah menjadi frustrasi, dan frustrasi yang dibiarkan meledak dalam demonstrasi di jalanan, seolah jalan raya mengambil alih peran parlemen yang gagal mendengar.

Padahal, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat, dan Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap warga untuk berkomunikasi serta memperoleh informasi. Prinsip ini bukan sekadar janji konstitusi, melainkan mandat moral dan politik. Demokrasi tidak boleh berhenti pada seremoni lima tahunan, melainkan harus hadir dalam mekanisme yang memungkinkan rakyat ikut serta dalam pengambilan keputusan sehari-hari.

Karena itu, saatnya DPR dan DPD menghadirkan Call Centre rakyat berbasis GRC (Governance, Risk, and Compliance) yang transparan, terbuka, dan bisa dipantau real time. Kanal ini sederhana namun strategis: rakyat menyampaikan aspirasi dengan mudah, sementara wakilnya wajib menunjukkan tindak lanjut yang jelas. Dengan tata kelola yang tegas, manajemen risiko yang matang, dan kepatuhan regulatif yang konsisten, demokrasi yang mandek di bilik suara dapat dihidupkan kembali, nyata setiap hari di mata rakyat.

 

Call Centre DPR/DPD: Dari Aduan Menuju Akuntabilitas

 

DPR dan DPD adalah wajah terdekat kedaulatan rakyat, tempat fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan seharusnya berpaut dengan kebutuhan sehari-hari warga. Tanpa kanal aspirasi yang hidup, fungsi itu tercerabut dari realitas; aspirasi tercecer, kebijakan kehilangan pijakan, dan kepercayaan publik tergerus. Karena itu, Call Centre rakyat harus dimulai dari DPR/DPD, bukan sekadar alat teknologi, melainkan jembatan yang menautkan kembali rakyat dengan wakilnya.

Dalam bingkai governance, Call Centre mesti menawarkan pengalaman lintas kanal, telepon, aplikasi, laman resmi, hingga media sosial, dengan standar layanan seragam. Setiap aduan mendapat tiket unik, jejaknya terekam, dan perkembangannya dapat dipantau publik. Transparansi ini mengubah akuntabilitas dari sekadar niat baik menjadi sistem yang tak bisa dihindari.

Namun, transparansi tanpa risk management akan rapuh. Kanal publik rawan spam, laporan palsu, hingga kebocoran data. Karena itu, verifikasi proporsional, pengelompokan laporan, triage kasus genting, enkripsi, pembatasan akses, dan prosedur eskalasi harus disiapkan. Dengan manajemen risiko yang matang, Call Centre bisa terbuka tanpa ceroboh, cepat tanpa serampangan.

Seluruhnya hanya bermakna bila diikat oleh compliance. Standar keterbukaan informasi menuntut akses mudah, standar pelayanan publik menuntut tenggat jelas, dan UU Pelindungan Data Pribadi menuntut privasi sejak desain awal. Kepatuhan inilah fondasi kepercayaan: warga berani bersuara karena yakin suaranya dijaga dengan hormat.

Call Centre DPR/DPD juga tidak boleh berjalan sendiri. Integrasi dengan SP4N-LAPOR! memastikan laporan tidak tercecer dan sistem negara bergerak serentak. Pemetaan spasial mengikat aduan pada dapil anggota yang bersangkutan, sementara pemetaan tematik memastikan isu langsung mendarat di komisi relevan. Dengan begitu, respons menjadi masuk akal: dekat secara wilayah, tepat secara substansi.

 

Fondasi Hukum dan Tantangan Politik

Gagasan ini bukan utopis. Konstitusi sudah memberi arah: kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2), hak komunikasi publik dalam Pasal 28F, serta fungsi DPR dan DPD dalam Pasal 20 dan Pasal 22D UUD 1945. Kerangka itu diperkuat UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, dan UU Perlindungan Data Pribadi yang menuntut privasi sejak desain sistem, ditopang Perpres SP4N-LAPOR! yang menegakkan prinsip no wrong door policy.

Dari perspektif GRC, regulasi ini adalah dimensi compliance yang sudah tersedia; tinggal diwujudkan lewat tata kelola yang transparan dan manajemen risiko yang nyata. Tantangan utamanya bukan hukum, melainkan politik: apakah DPR dan DPD berani membuka diri untuk diaudit langsung oleh rakyatnya sendiri?

Call Centre ini adalah ujian litmus akuntabilitas. Jika dijalankan konsisten, DPR/DPD bisa berubah wajah, dari elitis menjadi responsif, dari tertutup menjadi transparan, dari jauh menjadi dekat. Tetapi jika hanya setengah hati, publik akan segera melihatnya tak lebih dari kosmetik politik.

 

Manfaat Jangka Panjang dan Outlook Nasional

Call Centre yang dikelola dengan serius akan melahirkan bank data aspirasi publik. Dari laporan yang masuk, pola masalah dan tren kebutuhan dapat diidentifikasi dan menjadi dasar kebijakan berbasis bukti. Dengan demikian, DPR/DPD tidak lagi sekadar reaktif terhadap isu populer, tetapi mampu menyusun agenda legislasi, pengawasan, dan anggaran berdasarkan data faktual. Inilah perwujudan nyata prinsip governance dalam demokrasi.

Tetapi data besar juga membawa risiko. Tidak semua laporan murni; ada bias, ada potensi manipulasi. Di sinilah pentingnya risk management: memilah, memverifikasi, dan memastikan isu fundamental tidak tertutup oleh riuh isu sesaat. Risiko overload harus diantisipasi dengan sistem eskalasi dan prioritisasi, sementara risiko kebocoran data ditangkal dengan perlindungan ketat.

Manfaat Call Centre ini juga bisa diperluas ke seluruh lembaga tinggi negara. Presiden dan Wakil Presiden bisa menjadikannya radar implementasi kebijakan. MA, MK, dan KY dapat menggunakannya sebagai kanal etika dan akses keadilan. BPK dapat mengintegrasikannya sebagai jalur whistleblowing keuangan negara. MPR dapat menyerap aspirasi kebangsaan dan gagasan perubahan konstitusi. Namun semua itu hanya sah jika ditempatkan di bawah bingkai compliance yang jelas, agar setiap kanal aspirasi sesuai dengan mandat konstitusional masing-masing lembaga.

Dengan landasan GRC, manfaat Call Centre berlipat ganda: memperbaiki kualitas demokrasi dengan tata kelola berbasis data (governance), melindungi sistem dari manipulasi dan kegagalan (risk), serta memastikan setiap langkah selaras dengan hukum dan mandat konstitusional (compliance).

 

Penutup: Demokrasi Naik Kelas dengan GRC

Call Centre DPR/DPD adalah simbol reformasi politik. Ia akan menentukan apakah lembaga perwakilan benar-benar hadir untuk rakyat atau sekadar menjaga rutinitas prosedural. Dengan tata kelola yang transparan, manajemen risiko yang matang, dan kepatuhan yang tegas, Call Centre rakyat berbasis GRC dapat menjadikan demokrasi hadir setiap hari dalam bentuk akuntabilitas nyata.

Namun, ujian sesungguhnya tetap ada pada political will. Apakah DPR/DPD berani membuka diri untuk diaudit oleh rakyatnya sendiri? Jika ya, lembaga ini akan bertransformasi, dan keberhasilan itu akan menjadi teladan bagi lembaga tinggi negara lain. Saat itulah demokrasi Indonesia benar-benar naik kelas: dari prosedural menjadi substantif, dari simbolis menjadi akuntabel, dari janji menjadi bukti.

Call Centre rakyat berbasis GRC harus menjadi bukti nyata bahwa negara hadir, terbuka, dan bertanggung jawab, bukan sekadar menampung aspirasi, tetapi juga mengubahnya menjadi dasar kebijakan yang lebih adil dan berbasis data. Jika DPR/DPD berani melangkah, maka kita bisa berkata dengan yakin: demokrasi kita tidak lagi mandek di bilik suara, melainkan berdenyut dalam akuntabilitas sehari-hari; tidak sekedar prosedural, namun demokrasi yang substantif.*