Sejumlah Aktivis HAM Temani Keluarga Jenguk Delpedro, Sang Ibu: Anak Saya Hanya Bela Rakyat!

FORUM KEADILAN – Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya turut menemani keluarga untuk menjenguk Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, di rutan Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti, Polda Metro Jaya, Rabu, 10/9/2025 siang.
Suasana haru menyelimuti ketika Magda Antista, ibunda dari Delpedro Marhaen, menangis di depan ruang tunggu sebelum membesuk putranya yang ditahan polisi dalam kasus dugaan penghasutan beberapa aksi demonstrasi berujung anarkis atau Agustus Kelabu yang terjadi di Jakarta bebera waktu lalu.
Dengan suara tersedak, Magda meluapkan isi hatinya kepada Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang turut hadir mendampingi. Begitu bertemu, Magda langsung meraih Bivitri, memeluk erat, lalu melampiaskan rasa pilunya.
“Kenapa? Anak saya bukan maling, bukan koruptor. Dia cuma belain rakyat. Dia cuma mau ada perbaikan di negara ini,” kata Magda sambil memeluk Bivitri.
Bivitri kemudian hanya bisa mengelus punggung Magda untuk menegarkan hati sang ibunda Delpedro itu.
“Sabar, bu… sabar, pasti kita bantu,” ucap Bivitri.
Sambil sesekali terisak, Magda terus menyampaikan keluh-kesahnya. Di sisi lain, kakak Delpedro, Delpiero Hegelian, tampak membawa barang titipan adiknya. Ia menyebut, adiknya hanya meminta buku-buku dan makanan untuk dibawakan kepada Delpedro.
“Kalau hari ini kita bawa makanan dan buku-buku. Kemarin alat mandi dan makanan. Itu saja permintaannya,” katanya.
Di kesempatan berbeda, Bivitri Susanti menyampaikan sikapnya di hadapan awak media. Ia menilai, penahanan aktivis kerap jadi pola yang diulang pemerintah untuk membungkam kritik.
“Ini memang playbook-nya pemerintahan atau penyelenggara negara yang tidak mampu untuk memberikan solusi-solusi konkret untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warganya. Playbook-nya yang saya maksud adalah resep ketika ada kritik, bukannya diatasi akar masalahnya, tapi yang dibikin bungkam adalah orang-orang yang mengkritik itu,”” katanya.
Bivitri menyebut praktik serupa pernah terjadi di banyak negara, dari Amerika Serikat, Nepal, Bangladesh, hingga kini menjalar ke Indonesia. Menurutnya, menuduh aktivis sebagai makar atau teroris adalah upaya menakut-nakuti masyarakat sipil.
“Menghasut anak-anak SMA itu menurut saya juga sebenarnya seperti melecehkan otonomi dari anak-anak, seakan-akan mereka nggak punya pikiran sendiri kayak orang robot gitu ya, yang bisa kita pakai remote control, eh jalan kesini, jalan kesitu,” tuturnya.
“Enggak. Zaman sekarang, ya teman-teman disini juga anak-anak muda, pasti tahu persis bahwa zaman sekarang semua punya pikiran yang merdeka,” sambungnya.
Lebih lanjut, Bivitri menyebut hukum hari ini tidak lagi netral, melainkan dijadikan alat bagi kepentingan kekuasaan.
“Dan ini yang sedang dipertunjukkan. Nah, jadi paradigmanya, point of view-nya, mungkin kalau pakai bahasa zaman sekarang gitu ya, point of view-nya itu beda antara kita sama orang-orang yang memegang kekuasaan,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah