Ketua MK Pertanyakan Status Hukum Hasto dalam Legal Standing Gugatan Pasal Perintangan Penyidikan

FORUM KEADILAN – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo meminta penjelasan mengenai status hukum mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto guna menentukan kedudukan hukumnya (legal standing) dalam perkara uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Hal itu ia sampaikan dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Suhartoyo menekankan pentingnya mengetahui apakah putusan terhadap Hasto sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) atau tidak, meskipun ia telah menerima amnesti dari presiden.
“Apakah yang bersangkutan ini status putusannya seperti apa, apakah menjadi inkrah atau seperti apa. Meskipun ada kebijakan politis dari kepala negara bahwa ada amnesti, tapi ini untuk meng-konekkan (menghubungkan) apakah Pak Hasto ini dalam konteks kerugian hak konstitusional faktual, aktual, atau potensial,” katanya dalam ruang sidang, Rabu, 13/8/2025.
Adapun Hasto sempat terjerat dalam kasus suap dan perintangan penyidikan pada kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku. Saat itu Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto bersalah karena melakukan suap, namun dakwaan perintangan penyidikan tidak terbukti. Dirinya sempat dihukum selama 3,5 tahun penjara sebelum mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
Ia menjelaskan, jika pada tingkat pertama Hasto dinyatakan tidak terbukti dan putusan itu dikuatkan hingga berkekuatan hukum tetap, maka semestinya perkara sudah selesai.
Namun, karena kasusnya berakhir dengan pemberian amnesti, MK perlu memastikan posisi hukum putusan Pengadilan Negeri tersebut.
“Supaya kami kemudian juga menelisik statusnya berkaitan dengan legal standing ini seperti apa, apakah aktual atau potensial,” katanya.
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto menguji konstitusionalitas norma terhadap Pasal Perintangan Penyidikan dalam Undang-Undang Tipikor. Dalam permohonannya, ia menganggap bahwa pasal tersebut sangat karet dan dapat disalah artikan oleh aparat penegak hukum.
Dalam perkara ini, Hasto menilai bahwa ketentuan Pasal 21 UU Tipikor tidak mempunyai batasan, ukuran atau aturan main yang jelas dan tegas. Ia lantas mempertanyakan apa yang dimaksud dari frasa mencegah, merintangi atau menggagalkan suatu penyidikan.
“Merujuk ‘karet’-nya bunyi Pasal 21 UU Tipikor, maka tindakan yang sah secara hukum pun tidak akan luput dari jeratannya sebab pasal tersebut tidak mensyaratkan adanya unsur ‘melawan hukum’ atau memberikan ‘batasan yang jelas maupun tegas’ dalam suatu perbuatan yang dikatakan sebagai ‘mencegah, merintangi. atau menggagalkan’,” kata Hasto dalam permohonan.
Ia menyebut bahwa saat perumusan norma di DPR telah terjadi perdebatan panjang atas pasal tersebut. Namun sayangnya, kekhawatiran tersebut tidak terjawab, sehingga bunyi akhir dari delik tindak pidana tersebut tidak berubah.
“Dengan menggunakan cara pengujian secara proporsional terhadap Pasal 21 UU Tipikor, maka menjadi nyata dan terang benderang bahwa bahwa pasal ini dalam praktiknya telah ditafsirkan secara tidak proporsional, bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil,” katanya.
Dalam petitumnya, ia meminta agar Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 21 inkonstitusional dengan diberikan pemaknaan baru berupa ‘secara melawan hukum’ dan ‘melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas’. Sehingga, hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum atau tindakan-tindakan tertentu saja yang dapat dikualifisir sebagai delik obstruction of justice.
Selain itu, menghapus ketentuan pidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun menjadi paling lama 3 tahun.
Hasto juga meminta agar frasa ‘penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan’ dinyatakan bertentangan dengan UUD. Hasto meminta agar frasa tersebut diartikan secara kumulatif, yakni harus dilakukan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi