Ahli Pemerintah Minta Tarif Royalti di UU Hak Cipta Ditinjau Ulang

FORUM KEADILAN – Guru Besar Kekayaan Intelektual dan Cyber Law Universitas Padjadjaran Ahmad M. Ramli meminta agar pendekatan tarif royalti dalam Undang-Undang (UU) Hak Cipta ditinjau ulang.
Hal itu ia sampaikan saat dirinya dihadirkan sebagai ahli dari pemerintah dalam sidang Perkara Nomor 28 dan 37/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh sejumlah musisi tanah air dan pelaku pertunjukan.
Awalnya, Ramli menyoroti pentingnya penyesuaian kebijakan royalti dengan perkembangan model bisnis digital saat ini.
Menurutnya, lanskap bisnis digital sangat berbeda dibanding model bisnis konvensional, yakni banyaknya layanan dan produk digital tersedia secara open source, gratis, bahkan untuk versi premium sekalipun.
“Di saat seperti ini, pendekatan tarif royalti terlalu mahal dan memberatkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan harus ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini,” katanya dalam persidangan, Kamis, 7/8/2025.
Ia menyebut bahwa pendekatan yang murah namun dilakukan secara massif lebih baik dibandingkan dengan yang mahal, namun malah ditinggalkan.
“Pendekatan murah tapi massal, lebih baik dari pada mahal tapi justru ditinggalkan,” katanya.
Di sisi lain, Ramli juga menyoroti soal proses penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta yang terjadi, baik secara pidana ataupun gugatan atas ganti rugi.
Meski hal tersebut merupakan hak yang dimiliki pencipta atau pemilik hal terkait, dia mengingatkan bahwa pendekatan yang terlalu represif bisa berakibat negatif.
“Kondisi yang menciptakan ketakutan menggunakan musik karena resiko tuntutan hukum bisa memicu gerakan anti musik di ruang publik dan komersial, di mana pemilik usaha lebih memilih alternatif lain untuk mengisi ruang-ruang komersialnnya,” ucapnya.
Dirinya lantas mendorong adanya pendekatan yang lebih membangun, yakni dengan memperluas segmen pasar dan menjadikan penggunaan musik sebagai gaya hidup, melalui tarif royalti yang lebih terjangkau dan kampanye masif untuk meningkatkan kepatuhan pengguna komersial.
Untuk diketahui, Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 28 musisi ternama mulai dari Armand Maulana, Nazriel ‘Ariel’ Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Rossa, dll. Mereka memberikan kuasa kepada advokat dalam ‘Gerakan Satu Visi’.
Sejumlah musisi mengajukan permohonan uji materi karena menilai ada persoalan hukum yang timbul dari beberapa kasus, salah satunya perkara yang menimpa Agnez Mo. Ia digugat oleh pencipta lagu Bilang Saja, Ari Bias, lantaran dinilai menggunakan lagu tersebut tanpa izin langsung dan tanpa membayar royalti.
Dalam perkara tersebut, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Ari Bias dan memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar. Selain itu, ia juga dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta.
Sementara, Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima pelaku pertunjukan yang tergabung dalam grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band serta Saartje Sylvia, pelaku pertunjukan ciptaan yang dijuluki sebagai Lady Rocker pertama.
Para pemohon menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat 2 huruf f dan menafsirkan ulang Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, serta Pasal 87 ayat 1 dalam undang-undang tersebut.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi