Pembebasan Tom Lembong-Hasto Kristiyanto, Sinyal Buruk Pemberantasan Korupsi?

FORUM KEADILAN – Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi terhadap Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keduanya telah mendapatkan Keputusan Presiden (Keppres) dan telah bebas dari penjara. Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa hal tersebut dapat memberikan preseden buruk terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan, selain memberikan amnesti dan abolisi terhadap Tom dan Hasto, Presiden juga memberikan amnesti kepada 1.178 orang. Dalam pertimbangannya terhadap Hasto dan Tom, ia mengatakan bahwa pemberian abolisi dan amnesti tersebut dalam rangka untuk menjaga persatuan bangsa, menjaga kondusifitas dan merawat rasa persaudaraan. Di sisi lain, ia menyebut bahwa terdapat pertimbangan subjektif dari presiden di mana Hasto dan Tom telah memberikan kontribusi untuk Indonesia.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai, pemberian amnesti dan abolisi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi dapat menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Dari aspek tindak pidana korupsi, kalau ini misalnya yang diberikan amnesty dan abolisi banyak terpidana, terdakwa, tindak pidana korupsi, ini menjadi sinyal yang buruk untuk pemberantasan korupsi,” ujar Zaenur saat dihubungi Forum Keadilan, Jumat, 1/8/2025.
Dirinya menyebut, dalam kasus Tom Lembong, unsur kesalahan dan mens reanya dinilai tidak terpenuhi. Sementara untuk kasus Hasto, ia mengakui adanya perkara hukum. Dirinya bahkan telah mendesak KPK untuk mengusut tuntas kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku sejak tahun 2020. Namun di sisi lain, ia menilai terdapat dugaan motif politik yang sangat kuat.
Zaenur menilai bahwa pemberian amnesti dan abolisi bukanlah solusi tepat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ia menegaskan pentingnya koreksi terhadap penegakan hukum.
Menurutnya, yang harus dilakukan adalah menertibkan institusi penegak hukum. Kepolisian dan Kejaksaan, kata dia, harus dibenahi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dikembalikan independensinya dengan merevisi Unddang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2019.
“Ini saya lihat, ini salah obat atas permasalahan dugaan penggunaan hukum untuk kepentingan politik,” katanya.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa jika praktik pemberian amnesti dan abolisi digunakan secara politis, maka supremasi hukum akan tergantikan oleh supremasi politik.
“Penguasa ingin menundukkan lawan tinggal kriminalisasi nanti kemudian berikan amnesti atau abolisi misalnya. Itu ngeri sekali. Jadi menurut saya ini efek ke depannya tidak main-main,” tambahnya.
Sementara itu, pada kesempatan terpisah, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Yasar Aulia menyebut bahwa pihaknya memiliki catatan besar atas pemberian amnesti dan abolisi terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Meskipun pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif presiden yang tertuang dalam konstitusi, namun, kata dia, pemberian tersebut menjadi sejarah pertama terhadap terpidana kasus korupsi.
“Ini merupakan hal yang unprecedented. Sepanjang kami tahu, sepanjang sejarah tidak pernah ada amnesti maupun abolisi diberikan kepada terpidana dari kasus korupsi,” katanya dalam diskusi publik bertajuk ‘Abolisi dan Amnesti, Memperlemah Agenda Pemberantasan Korupsi’, Jumat, 1/8.
Intervensi Proses Hukum
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sebelumnya menyatakan bahwa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bersalah dalam melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun Tom divonis selama empat tahun enam bulan pidana penjara dalam kasus importasi gula, sedangkan Hasto hanya tiga tahun enam bulan pidana penjara dari kasus PAW Harun Masiku.
Yasar menilai bahwa keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom memiliki implikasi besar, terutama dalam hal check and balances antara cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
Peneliti ICW itu justru menilai bahwa Keppres tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Padahal, kata dia, baik Tom Lembong maupun Hasto baru saja dijatuhi vonis oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Alhasil, hal tersebut berpotensi menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum di institusi peradilan.
“Tapi di sini presiden seakan masuk untuk mengintervensi proses hukum ini dan menutup perkaranya begitu saja. Tentu ini menjadi suatu potensi ke depannya bagi publik juga untuk menaruh ketidakpercayaan terhadap institusi peradilan,” katanya.
Yasar pun mengkritik alasan yang digunakan pemerintah untuk membenarkan pemberian amnesti dan abolisi yang disebutkan bahwa keputusan itu diambil demi menjaga kondusifitas politik, persaudaraan, dan karena adanya kontribusi para terpidana bagi negara.
Menurutnya, alasan-alasan itu sangat bias dan bisa disalahgunakan. Apalagi, hampir semua pejabat publik yang punya jabatan pasti dianggap punya kontribusi yang dapat menjadi pembenaran bagi koruptor lain ke depannya.
Ia mengingatkan, preseden ini berbahaya karena bisa dimanfaatkan oleh pelaku korupsi di masa depan. Dengan membangun narasi politisasi kasus dan menimbulkan kegaduhan publik, seorang koruptor bisa berharap akan mendapat pengampunan serupa dari presiden.
“Kami bahkan menilai sangat mungkin kemudian hari para koruptor bisa menggunakan rumus-rumus yang sudah disediakan oleh pemerintah saat pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom Lembong ini,” katanya.
ICW menilai, langkah presiden bukanlah solusi dari tudingan politisasi hukum, melainkan potensi pelemahan hukum dan ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi ke depan.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara UGM Yance Arizona menilai langkah Presiden Prabowo dalam memberikan abolisi dan amnesti kepada Tom dan Hasto mencerminkan dominasi politik atas hukum dalam sistem penegakan hukum Indonesia.
“Pemberian amnesti dan abolisi ini sekali lagi menunjukkan bahwa di Indonesia bukan (negara) hukum, tetapi justru politik yang menjadi panglima dalam proses penegakan hukum di Indonesia,” ujar Yance saat dihubungi Forum Keadilan, Jumat, 1/8.
Menurutnya, keputusan presiden justru memperkuat kesan bahwa koreksi atas proses hukum tidak lagi ditempuh melalui jalur yudisial, melainkan melalui jalur kekuasaan. Yance menyebut, pemberian amnesti dan abolisi tersebut tidak berpegang teguh kepada prinsip The Rule of Law. Padahal, pengadilan yang semestinya memberikan koreksi jika putusan tersebut dianggap keliru.
Ia menilai Presiden Prabowo berupaya tampil sebagai ‘pahlawan’ di tengah karut marut penegakan hukum nasional. Namun, hal itu justru menegaskan bahwa keputusan yang bersifat politis lebih mendominasi ketimbang pertimbangan hukum.
“Dalam kasus ini kita melihat bagaimana Presiden Prabowo hendak tampil sebagai pahlawan di tengah kesemrawatan penegakan hukum di Indonesia,” katanya.
Yance juga menyoroti bahwa pemberian amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong secara tidak langsung mengakui adanya politisasi hukum dalam penanganan kasus keduanya.
“Ini mengkonfirmasi bahwa ada politisasi dalam penegakan hukum untuk melawan oposisi, orang yang berseberangan dengan pemerintahan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Yance mendorong agar langkah pemberian amnesti dan abolisi ini disertai evaluasi menyeluruh terhadap aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan agar hal yang sama tidak terulang kembali di kemudian hari.
Dorong Perubahan Regulasi
Yance menerangkan soal perbedaan definisi antara abolisi dan amnesti. Menurutnya, amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada sekelompok orang ataupun golongan tertentu untuk menghapus segala akibat hukum dari pidana terhadap perbuatan tersebut.
Sementara abolisi adalah penghapusan tuntutan pidana terhadap seseorang yang sedang menjalani proses hukum pidana.
Ia menjelaskan, setelah presiden memberikan amnesti dan abolisi, untuk Hasto, kata dia statusnya tetap terpidana karena telah diputus bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Namun, dibebaskan dari menjalani hukuman selama tiga tahun enam bulan.
Sedangkan Tom Lembong sebagai terpidana yang sedang mengajukan banding, dihapuskan statusnya karena pemerintah menghentikan penuntutan dan dia tidak akan menjalani hukuman.
Yance justru mempertanyakan alasan pertimbangan pemerintah dan DPR dalam memberikan amnesti untuk Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong.
Sejatinya, aturan pemberian amnesti dan abolisi dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 14 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR.
Selain itu, UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 juga mengatur tentang amnesti. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Yance menyebut bahwa UU Darurat tersebut telah cukup lama hadir dan saat itu digunakan untuk mengatur lebih lanjut Pasal 107 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Padahal, saat ini Indonesia telah memiliki Konstitusi yang berbeda, bukan lagi menerapkan UUD.
Menurutnya, saat ini Indonesia memerlukan UU yang mengatur secara teknis terkait mekanisme pemberian amnesti dan abolisi.
“Perlu ada aturan yang lebih teknis agar amnesti dan abolisi tidak dipermainkan sebagai senjata politik. Untuk itu, diperlukan suatu undang-undang baru yang menjelaskan prosedur pemberian amnesti dan abolisi,” katanya.
Dorongan senada juga diungkapkan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar. ia mendorong agar pembentuk undang-undang melakukan pembaharuan regulasi agar keputusan serupa di masa depan memiliki landasan hukum yang lebih jelas dan tak menimbulkan keraguan publik.
“Kewenangan ini juga prerogatif presiden. Makanya UU Amnesti dan Abolisi harus diperbaharui agar lebih memberikan kepastian hukum dengan syarat-syaratnya,” katanya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi