Kematian Arya Daru Dinilai Tidak Natural, Kriminolog: Ini Bukan Cara Bunuh Diri yang Lazim

FORUM KEADILAN – Kriminolog Haniva Hasna menilai, kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan (39) yang ditemukan dengan kondisi kepala dibungkus lakban, tubuh berselimut, dan posisi yang sangat rapi, tidak lazim jika dikatakan kasus bunuh diri.
Menurutnya, metode bunuh diri dengan menutup kepala dengan lakban hingga saluran napas tertutup bukanlah metode umum dan sangat kecil kemungkinannya dilakukan secara sadar oleh korban sendiri.
“Kalau benar dilakukan sendiri, orang akan mengalami kesulitan teknis dan insting bertahan hidupnya akan aktif. Tubuh secara refleks akan melawan saat suplai oksigen terputus,” jelasnya kepada Forum Keadilan, Selasa, 15/7/2025.
Haniva menyebut, korban yang melakukan bunuh diri dengan cara ekstrem seperti itu harus memiliki keterampilan khusus, motivasi kuat, dan tidak berada dalam pengaruh gangguan fisik saat melakukannya. Sementara dalam kasus kemarian Arya Daru, justru ditemukan dalam kondisi tenang dan tertutup selimut.
“Ketika korban melakukan sendiri, berarti motivasinya kuat kan, ditambah dengan keterampilan teknis dan gak ada intervensi, kecuali dia sudah mendapatkan teror atau ancaman lain yang kita tidak ketahui,” katanya.
Haniva menyebut bahwa tindakan menutup saluran pernapasan memicu respons otomatis dari tubuh yang disebut reptilian brain, yakni mekanisme pertahanan dasar otak manusia yang akan mendorong tubuh untuk melawan saat suplai oksigen terputus.
“Hal ini menjadi tidak lazim, karena, proses menutup saluran nafas sendiri dengan lakban itu mengaktifkan insting survival atau reptilian brain, di mana otak secara otomatis melawan saat suplay oksigen terputus,” ucapnya.
Haniva menjelaskan bahwa dalam banyak kasus bunuh diri, biasanya terdapat kekacauan di sekitar korban, terutama jika metode yang digunakan melibatkan rasa sakit atau panik sesaat sebelum kematian. Akan tetapi, dalam kasus Arya Daru, tidak ditemukan kejanggalan yang mengarah pada dugaan bunuh diri.
“Jadikan pasti ada gerakan-gerakan yang tidak terkontrol, sementara korban ditemukan dengan sangat rapi dan selimutan, ini yang menurut saya menggugurkan dugaan bahwa dia bunuh diri,” ucapnya.
“Tentunya kita harus tetap menunggu hasil outopsi dan penyidikan forensik, tetapi kalau modus kematian ini tergolong mencurigakan dan sepertinya layak dikategorikan sebagai kematian tidak wajar atau mengarah pada kriminalitas,” sambungnya.
Lebih lanjut, Haniva memunculkan kemungkinan terjadinya stage suicide, rekayasa kematian yang dibuat seolah-olah korban bunuh diri, padahal sebenarnya korban pembunuhan. Ia menyebut, ini sebagai skenario yang sering digunakan untuk menghilangkan jejak pelaku.
“Tanda-tandanya antara lain, posisi tubuh terlalu simetris, luka yang tidak sesuai metode bunuh diri, alat bantu yang diletakkan terlalu rapi, dan ketidaksesuaian waktu kematian dengan keterangan saksi,” ungkapnya.
Bahkan, Haniva juga menyoroti kemungkinan adanya pesan simbolik dari cara kematian ini. Menurutnya, lakban yang membungkus kepala bisa saja digunakan bukan hanya untuk membunuh, tapi sebagai simbol pembungkaman. Bisa jadi, korban sedang terlibat dalam hal yang lebih besar dari sekadar persoalan pribadi.
“Jangan-jangan ini bentuk peringatan atau pesan kepada pihak lain. Bisa jadi instansi, bisa juga individu yang berkaitan dengan korban. Tujuannya untuk menyampaikan kepada pihak yang lebih besar atau lebih tinggi bahwa ada pembungkaman dalam sesuatu,” imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa penyelidikan seharusnya tidak berhenti pada aspek forensik, tetapi juga mencakup psikososial korban, seperti riwayat tekanan mental, hubungan kerja, hingga potensi konflik profesional yang belum terungkap.
“Harus tetap menunggu hasil outopsi dan penyidikan forensik, tetapi kalau modus kematian ini tergolong mencurigakan dan sepertinya layak dikategorikan sebagai kematian tidak wajar atau mengarah pada kriminalitas,” tuturnya.
Dalam kasus seperti ini, lanjut Haniva, penting untuk memeriksa tiga aspek utama, yaitu kondisi fisik korban, kondisi tempat kejadian perkara (TKP), dan riwayat sosial serta psikologis korban. Jika salah satu saja tidak konsisten, maka kematian tersebut layak dicurigai sebagai akibat tindak pidana.
“Jika salah satu dari tiga yang saya sampaikan itu tidak konsisten, maka wajib dicurigai sebagai kematian tindak pidana,” pungkasnya.
Hingga kini, polisi belum memberikan pernyataan resmi terkait hasil autopsi maupun dugaan motif yang mendasari kematian Arya. Informasi yang beredar pun masih terbatas, termasuk soal komunikasi terakhir korban atau rekam jejak digitalnya.
Sebelumnya, Kasubdit Penmas Polda Metro Jaya AKBP Reonald mangatakan, penyebab kematian korban diplomat Kemlu yang ditemukan tewas di kamar indekos kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pihaknya juga masih menunggu hasil pemeriksaan laboraturium forensik dalam mengungkap penyebab korban meninggal dunia.
“Saat ini penyidik berhati-hati dalam menyimpulkan penyebab kematian korban,” katanya.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah